Jakarta, PONTAS.ID – Perayaan 1 tahun aksi 212 yang digagas oleh sejumlah elit Islam pada tahu 2016 lalu adalah gerakan politik. Maka kontinuitas gerakan ini akan menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan mengikuti agenda-agenda politik formal kenegaraan.
Namun demikian, perlahan gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik “politisasi identitas agama” untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
“Warga juga telah menyadari bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak relevan menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita,” kata Ketua SETARA Institute, Hendardi melalui keterangan pers yang diterima PONTAS.id, Jumat (1/12/2017).
Menurut Hendardi, menguasai ruang publik (public space) adalah target para elit 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah.
“Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi,” imbuhnya.
Sayangnya kata Hendardi, gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. “Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya,” tutupnya.
Editor: Hendrik JS