Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menilai protes soal volume suara azan yang dilakukan Meiliana bukan bentuk penistaan agama.
Menurutnya, protes tersebut bisa dicarikan jalan keluar tanpa melalui jalur pengadilan.
“Kalau benar kasusnya mengeluhkan volume suara azan, bukan penistaan agama. Dan itu diselesaikannya bukan di pengadilan, tapi melalui musyawarah RT, RW atau tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat untuk saling menghargai dan saling memahami,” kata Sodik , Kamis (23/8/2018).
Lantaran protesnya itu, Meiliana diyatakan terbukti menghina agama Islam. Sodik pun menyayangkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menangani kasus tersebut.
“Hakim harus sangat jernih melihatnya. Volume suara azan yang terlalu keras mengganggu, sama saja dengan volume suara musik keras yang mengganggu. Jadi, soal volume, bukan soal nilai agamanya seperti halnya musik. Juga, soal volume bukan soal nilai dan jenis musiknya,” terang Sodik.
Namun, Sodik menyadari protes soal volume suara azan itu bisa dibawa ke ranah hukum. Asal, dalam ada kata-kata yang dianggap tidak baik saat protes itu disampaikan.
“Sekali lagi, kalau hanya keluhan volume, kecuali ketika dia menggerutu soal volume, lalu dia mengatakan kata lain yang menistakan. Nah, jika diadili, kasus yang ininya (kata yang dianggap menistakan), bukan kasus volume suaranya,” terang politikus Gerindra itu.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII lainnya yakni Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, masalah seperti yang menimpa Meiliana diselesaikan dengan musyawarah.
“Azan berbeda dengan pengeras suara azan. Ketidaknyamanan gara-gara kerasnya suara azan sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan. Tak seharusnya dibawa ke ranah hukum,” tutur Ace.
“Seharusnya, kita mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Bukankah kita mengedepankan pendekatan kerukunan? Dan kekeluargaan lebih didahulukan daripada pendekatan hukum yang sifatnya rigid,” sambungnya.
Namun, Ace mengimbau publik untuk menghormati keputusan hukum yang sudah ditetapkan. Dia menuturkan, jika ada pihak yang keberatan, sebaiknya disampaikan juga melalui ranah hukum.
“Namun, hakim telah menjatuhkan vonis. Apapun keputusan hakim harus dipatuhi. Kita harus hormati hukum. Kalau Meiliana tidak puas dengan keputusan itu, masih ada upaya hukum yang bisa dilakukannya,” ucap politikus Golkar itu.
Meiliana dianggap menistakan agama Islam karena memprotes volume suara azan yang menurutnya nilai terlalu keras. Meiliana divonis hukuman penjara selama 18 bulan.
Sementara itu, Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Robikin Emhas, menyatakan suara azan terlalu keras bukan penistaan agama.
“Mengatakan suara azan terlalu keras menurut pendapat saya bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” ujar Robikin dalam keterangannya.
Robikin meminta pasal 156 dan 156a KUHP tidak dijadikan pasal karet oleh penegak hukum. Ia berpendapat, pernyataan Meiliana semestinya dijadikan kritik yang konstruktif.
“Saya tidak melihat ungkapan ‘suara azan terlalu keras’ sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu. Sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural,” jelas Robikin.
Diketahui, Pengadilan Negeri Tanjung Balai memvonis bersalah terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Meiliana, dan menghukumnya dengan 18 bulan penjara. Perempuan keturunan Tionghoa itu dianggap terbukti menghina agama Islam setelah mengeluhkan volume suara adzan yang dinilainya terlalu keras.
Meiliana dilaporkan menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, membacakan putusan pada Selasa (21/8). Masa kurung yang dijatuhkan hakim sudah sesuai dengan yang diminta Jaksa Penuntut Umum.
JPU sebelumnya menuding terdakwa bersalah menghina Islam saat membuat keluhan. “Satu, menyatakan terdakwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” kata JPU Anggia Y Kesuma dalam sidang pembacaan tuntutan dua pekan lalu.
Perkara berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu keras. “Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut,” ujar terdakwa kepada tetangga seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa. Setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana.
Namun tanpa diduga pertemuan tersebut malah membuat keadaan semakin meruncing. Keluhan terdakwa ditanggapi masyarakat muslim Tanjung Balai dengan membakar 14 vihara umat Buddha. Pihak keluarga sempat meminta maaf. Namun upaya rekonsiliasi bertepuk sebelah tangan.
Sejak awal jalannya proses persidangan telah diwarnai tekanan dari kelompok garis keras. Pekan lalu Aliansi Ormas Islam Peduli Kasus Penodaan Agama menyambangi Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsudin Nainggolan untuk mendesak vonis bersalah atas terdakwa.