Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahat mengungkapkanIndonesia hanya memiliki cadangan terbukti (proven reserved) untuk minyak bumi sekitar 3,2 sampai 3,3 miliar barel atau 0,2 persen dari cadangan minyak dunia.
“Sementara untuk cadangan gas terbukti 1,5% dari total cadangan dunia,” kata Arcandra saat meresmikan Pembangkit Listik Energi Baru Terbarukan (EBT) se-Sumatera Barat di Agam, Kamis (24/5/2018).
Itu sebabnya, lanjut Arcandra, masyarakat dunia saat ini tengah berlomba memanfaatkan EBT sebagai sumber energi untuk kehidupan, demikian halnya dengan Indonesia. Menurut dia, Pemerintah telah mencanangkan target bauran EBT sebesar 23 persen melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dengan demikian, kata Arcandra, tak salah jika keputusan Indonesia untuk sementara waktu mencabut keanggotaan dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia/OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) saat sidang OPEC ke- 171 di Wina, Austria pada 2016 silam.
Peralihan sumber energi EBT ini diyakini Arcandra sebagai solusi jitu menjawab tantangan global saat ini. “Kalau cadangan minyak kita cuma sedikit, andalan kita apa sesudah ini? Itu yang dinamakan Energi Baru Terbarukan. InsyaAllah gak habis kalau dipakai,” ujar Arcandra.
Arcandra mengakui potensi sumber daya energi EBT di Indonesia cukup besar dikembangkan. Panas bumi misalnya, Indonesia memiliki potensi sekitar 11 giga watt (GW). Sedangkan, potensi air bisa mencapai sekitar 75 GW.
Mereduksi Biaya
Sebelumnya, Program Manager for Sustainable Energy Partnership IESR, Marlistya Citraningrum menilai saat ini Indonesia memang sudah harus beralih ke EBT.
“Salah satu risiko ekonomi bila kita tidak memprioritaskan renewable sekarang dan memilih pembangkit fosil skala besar adalah aset yang terbengkalai (stranded assets),” jelas Citra di Jakarta, awal pekan lalu.
Risiko ini sangat mungkin muncul karena pengembangan teknologi EBT akan semakin cepat sehingga mampu mereduksi biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan menjadi jauh lebih murah. “Teknologi EBT seperti solar rooftop dan baterai (penyimpanan) juga memiliki peluang untuk menjadi teknologi disruptif untuk pembangkit fosil,” ujar Citra.
Citra mengungkapkan, dengan usia operasional pembangkit fosil seperti PLTU yang mencapai 30 tahun, risiko ini akan menjadi kerugian di masa mendatang.
“Selain risiko stranded assets, juga berkaitan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK yang mensyaratkan pengurangan penggunaan energi fosil pada bauran energi nasional,” pungkasnya. Demikian dilansir laman ESDM.go.id, Sabtu (26/5/2018).
Editor: Hendrik JS