Penyediaan Energi Harus Tetap Optimal di Masa Pandemi

Sekjen ESDM sekaligus Plt Dirjen Migas ESDM, Ego Syahrial

Jakarta, PONTAS.ID – Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, memastikan keterbatasan aktivitas fisik di tengah masa pandemi Covid-19 tidak memengaruhi penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG) kepada masyarakat. Penyaluran energi tetap optimal agar perekonomian masyarakat tetap berjalan baik.

“Pemerintah meminta kepada Pertamina untuk tetap menyediakan BBM di masyarakat dan juga menjamin BBM dalam rangka mendukung perekonomian. Beberapa SPBU juga kita tetap meminta beroperasi 24 jam. Demikian juga kepastian agar pasokan LPG bagi rumah tangga tetap terjaga,” ungkap Ego, Selasa (29/9/2020).

Sebagai komoditas vital bagi masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang, sambung Ego, menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM dan LPG ke seluruh wilayah RI.

Pelayanan pendistribusian ini, sambung Ego, telah dibarengi melalui sistem operasionalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dengan protokol kesehatan yang ketat.

“Termasuk penyediaan wastafel dan (penyemprotan) disinfektan di area SPBU,” ungkap Ego.

Ego mengakui pergerakan konsumsi BBM dan LPG mengalami penurunan semester awal 2020 ini.

“Konsumsi BBM kita di Semester I 2020 menurun sebesar 13% kalau kita bandingkan periode yang sama di tahun lalu. Dilaksanakannya Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) bahkan terjadi penurunan demand mencapai sebesar 50% di beberapa kota besar, seperti Jakarta,” jelasnya.

Dalam kondisi normal, catatan Kementerian ESDM menunjukkan adanya tren peningkatan konsumsi BBM rata-rata sebesar 2,7 persen per tahun, bahkan konsumsi LPG meningkat rata-rata 5 persen per tahun.

“Ini tahun yang berat bagi seluruh negara di dunia, dampak pandemi terhadap sektor energi pasti sangat signifikan, baik investasi maupun yang bersinggungan langsung kepada masyarakat,” tutur Ego.

Untuk BBM sendiri konsumsi pada tahun 2015 sebesar 67,51 juta kilo liter dan terus merangkak naik di tahun 2016 (68,15 juta kl), 2017 (70,98 juta kl), 2018 (74,08 juta kl) dan 2019 (75,12 juta kl). Hal serupa juga terjadi pada LPG, tingkat konsumsi LPG di masyarakat cenderung mengalami kenaikan, yakni 2015 (6,38 juta metrik ton), 2016 (6,64 juta Mton), 2017 (7,19 juta Mton), 2018 (7,56 juta Mton), dan 2019 (7,7 juta Mton).

Pada kesempatan yang sama, CEO Commercial & Trading Subholding Pertamina Mas’ud Khamid, menyatakan, selama pandemi ini ada tiga hal utama yang memperngaruhi kinerja Pertamina.

Pertama adalah menurunnya permintaan secara tiba-tiba. Kedua, fluktuasi kurs rupiah terhadap mata uang asing dan yang terakhir adalah penurunan harga crude sebagai bahan baku dari bahan bakar minyak. “Kita popularkan (kondisi ini) dengan triple shock,” ungkap Mas’ud.

Di tengah pandemi, jaminan ketersediaan BBM tetap berlaku untuk keberlanjutan program BBM Satu Harga di seluruh wilayah Indonesia.

“Pemerintah berharap kepada Pertamina dan Badan Usaha (BU) swasta agar program BBM Satu Harga ini bisa terus berjalan maksimal dan tidak memberatkan Pertamina sebagai penugasan,” ungkap Ego.

Ego menilai kehadiran program yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo sejak Oktober 2016 ini sangat membantu dalam meringankan beban perekonomian masyarakat setempat. Hal ini sekaligus mengurangi disparitas harga jual BBM di kota-kota besar dengan daerah pelosok.

“Intinya adalah masyarakat bisa membeli BBM dengan harga yang sama dengan harga BBM di kota besar,” jelasnya.

Hingga tahun 2019 lalu sebanyak 170 titik BBM Satu Harga yang dibangun baik Pertamina maupun BU swasta. Kementerian ESDM memproyeksikan hingga tahun 2024 akan ada penambahan 330 titik, yakni 83 titik di 2020, 76 titik di tahun 2021, 72 titik di 2020, 56 di tahun 2023, dan 43 di tahun 2024.

Khusus tahun 2020, 83 titik ini akan dibangun semuanya oleh Pertamina dengan rincian, Sumatera 17 titik, Nusa Tenggara 16 titik, Kalimantan 12 titik, Sulawesi 8 titik, Maluku 16 titik, dan Papua 14 titik.

“Pemilihan diprioritaskan untuk wilayah yang paling mendesak dan mempertimbangkan kesiapan daerah mengingat masih banyak kecamatan yang belum menikmati akses,” kata Ego.

Ego mengakui, saat ini masih terdapat lebih dari 1.000 kecamatan di pelosok yang masih mengalami kesulitan akses dan mahalnya BBM.

“Sulitnya akses merupakan kendala tersendiri bagi pendistribusian BBM. Sehingga harga BBM di pelosok lebih mahal dibanding harga BBM di kota,” tutupnya

Penulis: Riana

Editor: Stevanny

Previous articleLegislator Pertanyakan Implementasi Permen Harga Gas Industri
Next articleKegiatan Pertambangan Harus Perhatikan Lingkungan Hidup dan Sosial

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here