Biaya Pemilu Terlalu Tinggi, Hendropriyono Usul Jabatan Presiden 8 Tahun

AM Hendropriyono

Jakarta, PONTAS.ID – Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono menilai, pelaksanaan Pemilu Serentak yakni Pileg dan Pilpres 2019 kemarin sangat menelan biaya yang sangat besar.

“Saya sebagai rakyat biasa tetapi tidak bisa diam saja. Kalau semuanya diam saja, kan namanya tidak ada partisipasi rakyat,” kata Hendro di gedung DPR, Jumat (12/7/2019).

Mantan ketua umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) itu mengaku mendiskusikan persoalan pemilu bersama Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet). Hal yang dibahas antara lain biaya pemilu yang mahal hingga situasi nasional.

Hendro menjelaskan, pada 2004 uang negara yang dihabiskan untuk pemilu mencapai Rp 3 triliun. Pada 2009, menjadi Rp 8 triliun.

Selanjutnya biaya untuk pemilu pada 2014 naik menjadi Rp 15 triliun. Terakhir, biaya Pemilu 2019 mencapai Rp 25 triliun.

“Ini gila. Kalau terus-terusan begini, diam sebagai rakyat, kasihan rakyat yang tidak mengerti,” ungkapnya.

Karena itu Hendro merasa prihatin dengan kondisi tersebut. Purnawirawan TNI berpangkat jenderal itu mengatakan, jika kondisi itu terus berlanjut maka Indonesia bisa bangkrut.

“Kita bisa menjadi negara sakit di Asia. Kalau menjadi negara sakit, bisa apalagi kita,” katanya.

Maka Hendro pun mengajak Bangsa Indonesia kembali pada Pancasila untuk berdemokrasi. Dalam demokrasi Pancasila, kata Hendro, pemerintah dan rakyat harus sama-sama kuat.

Berangkat dari itu, Hendro mengusulkan masa jabatan presiden dan kepala daerah ditambah menjadi delapan tahun. Namun, katanya, seseorang hanya boleh menjabat sebagai presiden ataupun kepala daerah selama satu periode.

“Jadi, tidak ada petahana sehingga delapan tahun itu pemerintah kuat dan rakyat kuat,” katanya.

Menurut Hendro, dengan demikian maka tidak ada upaya untuk menggergaji pemerintah. Selain itu, kata dia, pemerintah akan fokus bekerja selama delapan tahun tanpa sibuk kampanye untuk berkuasa lagi.

Hendro juga mengatakan, MPR harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara. Caranya adalah dengan menambah ketentuan dalam konstitusi.

“Saya bilang tolong itu konstitusi kan bisa diadendum. Kalau tidak bisa diamendemen, diandendum saja,” katanya.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Risman Septian

Previous articleSoal Calon Anggota BPK, Senator Harap DPR Perhatikan Rekomendasi DPD
Next articleTerkendala Aset, Laporan Keuangan Kota Medan Sulit Raih WTP

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here