Keringat Darah di Pesta Infrastruktur

Wakil Ketua III, AP3I, Siswo Wicaksono, saat berbincang dengan PONTAS.id, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/11/2018)

Wawancara Eksklusif dengan Siswo Wicaksono

Jakarta, PONTAS.ID – Masifnya proyek infrastruktur yang tengah digenjot Pemerintahan Jokowi-JK, ternyata tidak memberikan dampak positif bagi perusahaan swasta. Pasalnya, dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beserta anak dan cucu perusahaan BUMN memaksa swasta gigit jari.

Tercatat, sekitar 37 ribu kontraktor swasta bangkrut karena gagal mendapat order atau tidak dibayar oleh pengguna jasa konstruksi.

Untuk memahami lebih jauh fenomena ini, PONTAS.id melakukan wawancara ekslusif dengan Wakil Ketua III, Asosiasi Perusahaan Pracetak dan Prategang Indonesia (AP3I), Siswo Wicaksono, di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/11/2018).

Bagaimana dampak proyek infrastruktur pemerintah pada perkembangan usaha?

Kita pisahkan dulu, AP3I beranggotakan perusahaan BUMN dan perusahaan swasta. Kita lihatnya dari sisi swasta terlebih dahulu, karena posisi swasta sangat bergantung pada pembayaran dari pelanggan serta pinjaman dari perbankan.
Berbeda dengan BUMN yang pada dasarnya sangat mudah mendapatkan dana segar dari pemegang saham.

Jika kita lihat di awal sebelum pemerintahan pak Jokowi, BUMN lebih banyak bermain di proyek konstruksi, mereka belum masuk bisnis precast (beton pracetak) maupun bisnis beton prategang, sehingga harga jual masih kompetitif dan peluang swasta untuk berkembang cukup tinggi.

Namun, sejak pemerintahan pak Jokowi, BUMN ramai-ramai masuk bisnis beton prategang dan bisnis beton prategang. Bahkan beberapa diantara BUMN membeli pabrik beton pracetak dan prategang milik swasta yang tidak mampu bertahan.

Akibatnya, harga jual jadi hancur, tidak kompetitif lagi. Semua berlomba-lomba menjual dengan harga yang tidak masuk akal. Bagi BUMN mungkin ini tidak masalah. Tapi bagi swasta ini sangat merusak dan berpotensi mematikan perusahaan swasta yang sejak awal merintis bisnis beton pracetak dan prategang. Ini tidak baik bagi dunia bisnis dan juga bagi ekonomi Indonesia.

Harganya hancur apa kualitasnya juga hancur?

Kalau dari sisi kualitas, saya yakin tetap dijaga meski harganya hancur. Artinya penjualan tetap dilakukan daripada usaha tidak jalan sama sekali.

Kalau pembayaran dari pelanggan tepat waktu, kita masih ok. Tapi kalau tidak tepat waktu, ya kita yang terganggu. Belum lagi kalau persoalan pembayaran ini terpaksa harus menempuh proses hukum, makin runyam bisnis kita.

Selain soal harga, apa masalah lain yang dihadapi pengusaha?
Setelah pak Jokowi, terjadi peningkatan kebutuhan terhadap beton pracetak dan prategang. Namun hukum pasar tidak serta merta berlaku, “jika permintaan meningkat harga juga meningkat” Ini tidak terjadi, dan menjadi keanehan tersendiri menurut kami.

Dan kalau hal ini juga kami bahas di forum-forum setengah resmi AP3I, meski sedikit agak sensitif, kita sepakat untuk membenahi bersama soal harga ini.
Tapi begitu proses tender dimulai, semua melupakan kesepakatan yang dibuat, karena semua lebih membutuhkan kerja daripada keuntungan.

Apakah predatory pricing untuk mematikan pesaing ini tidak diawasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)?

Kami belum berpikiran sampai sejauh itu, saat ini kami fokus bagaimana untuk mempertahankan bisnis. Karena intinya kalau harga jual tidak masuk akal tentu perusahaan juga tidak memiliki peluang berkembang.

Dan memang pada dasarnya, harga produksi itu dapat dihitung, karena material untuk beton pracetak dan prategang harga-harganya sangat terbuka, seperti semen, besi, pasir dan lain-lain.

Seandainya BUMN dilarang masuk bisnis beton pracetak dan prategang, apakah swasta mampu?

Kalau dari awal sebenarnya mampu, tapi sekarang kan kondisinya BUMN sudah masuk. Di sisi lain swasta sudah banyak yang usahanya mati karena masuknya BUMN dan persoalan banting harga yang terjadi.

Dengan kondisi ini, yah memang swasta dan BUMN harus bersama-sama mengerjakannya. Sebab, kalau hanya BUMN dalam bisnis ini pasti tidak sehat juga. Dan ini malah memancing perusahaan asing masuk ke Indonesia.

Pernah mencoba menyampaikan masalah ini ke pemerintah?

Pernah kami lakukan dengan menyurati Kepala Kantor Staff Preiden (KSP) saat dipimpin pak Luhut Binsar Pandjaitan. Kami juga pernah menyurati Menteri BUMN. Namun sampai saat ini, permohonan kami tersebut belum direspon.

Terkait BUMN yang dibatasi hanya untuk proyek Rp. 100 miliar ke atas, bagaimana dampaknya?

Tidak ada pengaruh sama sekali. Yah mungkin karena imbauan itu diarahkan pada BUMN saja, tapi tidak dengan anak-anak usaha BUMN. Jadi tidak berpengaruh sama sekali.

Dan kondisi ini memang belum sejalan dengan program ekonomi kerakyatan yang dicanangkan pak Jokowi. Karena ekonomi kerakyatan itu kan swasta bukan BUMN. Faktanya, BUMN terus ekspansi, di sisi lain swasta kembang kempis.

Seharusnya, BUMN itu lebih fokus menangani proyek-proyek berukuran besar saja dan proyek yang tidak menarik bagi swasta, karena modalnya lebih kuat. Sehingga tidak mengganggu bisnis swasta.

Seperti diamanahkan Pasal 2 ayat 1.d Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, “Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi” BUMN cukup sampai di situ saja. Bukan malah masuk ke bisnis swasta.

Soal kurs rupiah, sejauh mana pengaruhnya?

Tentu berpengaruh, ada pengaruh langsung dan tidak langsung. Kalau material dari bahan baku yang masih impor berpengaruh langsung, seperti besi, prestress cable, karena masih impor.
Kalau semen, karena sekarang cukup banyak produsennya, tidak berpengaruh langsung, harganya tidak seketika naik.

Tantangannya, beberapa diantara pelanggan dapat memahami naik turunnya harga ini. Tapi sebagian besar, pelanggan itu tidak mau tahu dengan kenaikan harga akibat kurs ini.

Dengan kondisi ini, apa keinginan swasta agar dapat menikmati kue infrastruktur?

Harapan kami tidak muluk-muluk, tidak harus mengembalikan harga seperti tahun-tahun sebelum pak Jokowi memimpin. Tapi harga harus dijaga tetap kompetitif dan masuk akal, agar swasta berpeluang untuk berkembang.

Faktanya di depan mata kita, banyak perusahaan-perusahaan anggota AP3I maupun di luar AP3I saat ini sudah mati karena tidak sanggup beroperasi lagi. Di saat yang bersamaan pemerintah tengan gencarnya mengerjakan proyek infrastruktur.

Namun kejadian ini tidak hanya dialami swasta saja. Sepengetahuan kami ada satu perusahaan anak usaha BUMN, sekarang mendapat rapor merah dari perbankan. Karena itu tadi, semua menjual dengan harga yang tidak masuk akal, otomatis cash flow (arus kas) nya minus

Penulis: Pahala Simanjuntak/Hasanudin
Editor: Hendrik JS

Previous articlePemprov DKI Terus Pacu SKPD yang Serapan Anggarannya Rendah
Next articleRI Tuan Rumah Lokakarya Pelaporan dan Penilaian Laut Global PBB Ke-2

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here