Pati, PONTAS.ID – Petai yang dikenal sebagai makanan khas Indonesia ini biasanya dihindari sebagian orang karena menimbulkan bau tak sedap selepas kita mengkonsumsinya. Namun tidak bagi warga Desa Sukobubuk, Pati yang justru menjadikan petai sebagai komoditas ekspor. Kok bisa? Berkat pembinaan yang dilakukan oleh anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, hal ini bisa terjadi.
Firman Soebagyo mulai masuk ke desa ini pada tahun 2019, ia melihat bagaimana potensi desa dari sisi nilai ekonomis sektor pertanian dan perkebunan. Sebab masih banyak tanah lapang yang tak dihuni. Selain itu, kondisi daerah ini juga sangat cocok untuk dijadikan sebagai ekosistem hutan produktif.
Karenanya guliran program perhutanan sosial yang digalakkan oleh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan turut menyasar desa ini. Ditambah lagi intensifikasi yang dilakukan oleh Firman Soebagyo sebagai legislator di daerah ini, jadilah Desa Sukobubuk melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) berhasil memetik nilai ekonomis dari apa yang telah dimulai oleh mereka.
“Desa ini menjadi salah satu desa yang berhasil dalam penerapan program perhutanan sosial. Kini di desa ini sudah mulai mengembangkan tanaman yang ada nilai ekonomisnya, tidak hanya petai, tapi juga mangga, nangka dan alpukat,” ujar Firman Soebagyo.
Dijelaskan oleh Firman Soebagyo yang juga anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, baru-baru ini Desa Sukobubuk melalui pemberdayaan yang tepat dan program perhutanan sosial berhasil mengekspor komoditas petai ke Jepang.
“Desa ini sudah memiliki 10 ribu pohon petai yang hasilnya diekspor ke Jepang. Hanya saja saya lihat brand atau mereknya masih gunakan pihak pengimpor dari Jepang. Nanti saya minta, nama KTH Sukobubuk dicantumkan atau kalau perlu bikin brand sendiri,” lugas Firman Soebagyo menunjukkan petai yang sudah ada di dalam kemasan siap ekspor.
Ia pun berharap agar desa-desa lain mengikuti kesuksesan Desa Sukobubuk dalam pengelolaan lahan di wilayahnya. Karena, selain mendatangkan devisa bagi negara dengan ekspor komoditas yang dilakukan, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh KTH Sukobubuk ini juga mendatangkan pundi-pundi bagi tambahan warga desa.
“Ini nilai ekonomisnya sangat besar. Ekspor komoditas yang dilakukan jelas datangkan devisa. KTH Sukobubuk dalam pengelolaan usahanya juga berhasil. Kemudian ini ada ibu-ibu juga dapat tambahan dari mengupas petai. 1 kilogram dapat 8-9 ribu. Kalau sehari bisa 10 kilogram, ini lumayan. Harapan saya, desa ini bisa menjadi role model bagi desa-desa lain yang harus juga berhasil seperti Desa Sukobubuk ini,” lanjut Firman.
Sementara itu, Kepala Desa Sukobubuk, Pak Saman yang turut mendampingi Firman Soebagyo menjelaskan bahwa program ini sudah dilakukan sejak 2019 silam. Intensifikasi serta keseriusan pengelola KTH termasuk dukungan para stakeholder terkait membuat KTH Sukobubuk bisa seperti saat ini.
“Petai yang kita tanam di tahun 2019 ini sudah berbuah 10 ribuan pohon. Tahun 2021 kami dapat program tambahan dari Pak Firman, ada program Kebun Bibit Rakyat (KBR), bibit produktif maupun Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Sejak 2019 hingga kini kami sudah menanam 50 ribu pohon petai, hanya yang sudah cukup umur dan berbuah sekitar 10 ribuan pohon,” papar Kepala Desa Sukobubuk, Pak Saman.
Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam praktiknya, pengelolaan perhutanan sosial oleh KTH Sukobubuk meliputi kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha. Kelola kawasan sendiri berupa penataan areal dan pemanfaatan kawasan agroforestry.