Soal Usulan Tarif Cukai Plastik, Aprindo: Bukan Solusi Efektif

Ilustrasi Kantong Plastik

Jakarta, PONTAS.ID – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan pengenaan tarif cukai terhadap kantong plastik sebesar Rp 30.000 per kilogram.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai, pemerintah perlu melakukan kebijakan secara komprehensif untuk menyelesaikan isu konsumsi plastik yang dianggap menjadi permasalahan. Khususnya terkait edukasi kepada masyarakat untuk menyeleksi sampah plastik di tingkat rumah tangga dan mengolahnya.

Wakil Ketua Aprindo, Tutum Rahanta menuturkan, pihaknya mengapresiasi atas rencana pemerintah untuk melakukan penerapan cukai terhadap kantong plastik di tingkat produsen. Hanya saja, kebijakan ini bukan menjadi solusi efektif.

“Cukai tidak menjadi penyelesai semua masalah,” kata Tuntum di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Tutum menekankan, masyarakat juga membutuhkan edukasi mengenai sampah kantong plastik ini. Sebab, masyarakat turut memiliki kontribusi terhadap konsumsi kresek yang berdampak pada pencemaran sampah plastik di darat ataupun laut.

Sebelum diterapkan, Tutum menganjurkan kepada pemerintah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat secara paralel. Pengawasan juga harus dilakukan di berbagai sisi, tidak hanya produsen dan ritel. Kebijakan komprehensif ini dinilainya lebih efektif mengubah pola perilaku masyarakat dari sekadar membuang sampah plastik menjadi mengelola.

“Jadi, jangan hanya dari satu sisi saja yang dibenahi,” ujarnya.

Belum Pantas

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai kantong plastik belum memenuhi kriteria sebagai komoditas yang layak dikenakan cukai. Profil dari produk plastik dan turunannya sangat berbeda dengan produk tembakau dan ethil alkohol yang saat ini menjadi objek pengenaan cukai.

Direktur Industri Kimia Hilir, Direktorat Jenderal Kimia Tekstil dan Aneka, Kemenperin, Taufiek Bawazier menjelaskan, dari segi kesediaan bahan baku, plastik masih membutuhkan pemenuhan dari impor sekitar 40 persen dari total kebutuhan domestik. Sementara tembakau dan alkohol, sumber dayanya melimpah di dalan negeri.

“Kami memahami instrumen cukai juga dibutuhkan dalam upaya penerimaan keuangan, namun kalau diterapkan pada komoditas yang tepat,” kata Taufiek.

Taufiek melanjutkan, merujuk kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, sifat dan karakteristik yang tepat untuk mengenakan cukai terhadap suatu komoditas harus memenuhi beberapa kriteria. Di antarnya, peredarannya perlu diawasi, pemakaianya memiliki dampak negatif bagi masyarakat, serta perlu pembebanan dengan alasan asas keadilan.

Kantong plastik, kata dia, belum memenuhi tiga kriteria tersebut. Di satu sisi, lanjut Taufiek, adanya pengenaan cukai bakal berpengaruh terhadap pembatasan volume produksi. Hal itu bakal berkorelasi langsung dengan hilangnya peluang investasi dan penerimaan pajak negara.

Ia mencatat, produk domestik bruto (PDB) dari sektor plastik PDB selama 2018 cukup besar, yakni sekitar Rp 92 triliun. Meskipun kantong plastik bagian kecil dari sektor produk plastik namun akan berdampak pada sektor plastik secara keseluruhan.

“Esensi kita membangun daya saing industri salah satunya price yang kompetitif. Jika input produksi sudah ditambah biaya, bukan hanya sektor industri terkena imbasnya tapi masyarakat pengguna terutama masyarakat kecil,” ujar dia.

Besaran cukai plastik yang diusulkan Kemenkeu sebesar Rp 200 per lembar atau Rp 30 ribu per kilogram. Taufiek mengatakan, harga pasaran kantong plastik saat ini sudah mencapai Rp 25 ribu per kg.

Jika ditambahkan cukai sebesar Rp 30 ribu per kg, berdasarkan hitungan Kemenperin, bakal menurunkan permintaan sebesar 54 persen dari total permintaan saat ini yang mencapai 360 ribu ton per tahun.

Menurut Taufiek, dengan total permintaan itu dan potensi penurunan permintaan plastik, secara otomatis negara berpotensi kehilangan nilai jual sekitar Rp 600 miliar per tahun.

Pemerintah semestinya menerbitkan insentif fiskal lain bagi mereka para pelaku industri daur ulang plastik. Tujuannya, agar kapasitas daur ulang nasional meningkat dari posisi 14 persen menjadi 25 persen.

Meningkatkanya kapasitas daur ulang plastik sekaligus membantu masyarakat miskin yang saat ini berprofesi sebagai pemulung. Manfaat lain yang diperoleh yakni daerah bisa mendapatkan peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, serta negara mendapat sumbangan pajak yang terus meningkat dari industri daur ulang plastik.

Oleh karena itu, kata Taufiek, Kementerian Perindustrian tidak sepakat tentang pengenaan cukai terhadap kantong plastik. “Intinya, kami menolak dan tidak sependapat dengan argumentasi teknokratik ekonomi industri,” kata dia.

Minta Dipertimbangkan

Sebelumnya, Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan penerapan cukai kantong plastik. Menurut produsen, cukai plastik bakal menekan angka permintaan kantong plastik sekaligus menekan industri daur ulang plastik di Indonesia.

Wakil Ketua Umum Inaplas, Budi Susanto Sadiman mengatakan, pihaknya memahami jika pemerintah bertujuan untuk melakukan pengendalian dampak lingkungan dari sisi volume sampah plastik.

Namun, menurut dia, masih terdapat opsi lain jika pemerintah memang berkepentingan terhadap lingkungan.

“Kami minta tolong dipertimbangkan matang-matang. Kami hanya meneruskan aspirasi dari angota bahwa mereka sangat cemas. Termasuk para pemulung yang jumlahnya mencapai lebih dari 4 juta orang,” kata Budi.

Budi menyampaikan, saat ini Inaplas terlibat aktif dalam program Manajemen Sampah Zero (Masaro) yang sudah diterapkan di Cilegon, Banten dan Cirebon, Jawa Barat. Program Masaro itu diklaim mampu mengolah seluruh sampah plastik yang ada menjadi barang guna tanpa menyisakan sampah sisa.

Diterapkannya cukai plastik yang berakibat pada penurunan kinerja industri dinilai berdampak langsung terhadap kegiatan investasi. Padahal, disaat yang sama, pemerintah tengah berupaya untuk menggairahkan investasi riil di dalam negeri sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

Selain mempengaruhi investasi, Budi mengatakan, adanya cukai plastik dapat menurunkan daya saing industri sekaligus penyerapan tenaga kerja.

Ia mengakui, kebijakan cukai kantong plastik memang lebih baik daripada pelarangan kantong plastik seperti yang diterapkan oleh sejumlah daerah saat ini. Tapi, kata Budi, masih terdapat strategi lain untuk mengatasi masalah lingkungan tanpa mengorbankan kegiatan industri plastik dalam negeri.

“Kecuali, kalau memang niat pemerintah mau mencari tambahan penghasilan dari cukai plastik. Saya rasa itu lebih parah lagi. Tolong dipertimbangkan,” katanya.

Diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memberlakukan tarif cukai terhadap kantong plastik dalam bentuk dua regulas. Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Keduanya akan dibuat dalam beleid baru atau bukan bersifat perubahan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani optimistis, keduanya dapat rampung dan dirilis pada tahun ini. Sampai saat ini, pemerintah sudah mengusulkan besaran tarif cukai yang akan dikenakan terhadap kantong plastik berbahan dasar petroleum.

“Nilainya Rp 30 ribu per kilogram atau Rp 200 per lembar,” ucapnya ketika ditemui usai rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/7/2019).

Dalam waktu dekat, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan kembali melakukan konsultasi dengan Komisi XI DPR. Tujuannya, mendalami besaran tarif cukai dan potensi barang kena cukai di luar kantong plastik.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Risman Septian

Previous articleApindo Harap Jokowi Benahi Sektor Industri dan Tenaga Kerja
Next articleSoal Pemblokiran IMEI Ponsel Ilegal, Menperin: Ada Situs untuk Masyarakat Mengecek

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here