Access to Justice Terlihat Sederhana, Sulit Direalisasikan

Abdul Haris Semendawai Ketua LPSK

Jakarta, PONTAS.ID – Access to Justice bagi korban kejahatan mungkin terlihat sederhana. Akan tetapi, pada kenyataannya, hal itu sangat sulit direalisasikan. Jika mekanisme untuk mendapatkan keadilan itu tidak tersedia, dikhawatirkan pelaku kejahatan menjadi kebal hukum dan seenaknya melenggang.

Hal tersebut disampaikan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai di hadapan ratusan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta. Selain Ketua LPSK, kegiatan seminar perlindungan hukum bagi korban tindak pidana di Indonesia di Auditorium E Suherman itu juga menghadirkan profesor ilmu hukum Universitas Indonesia Fachri Bey dan dosen FH Universitas Trisakti yang anggota Polri, Aprima Suar.

Menurut Semendawai, rumusan mengenai hak-hak korban kejahatan di Indonesia, banyak mengacu kepada Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, seperti definisi korban yang sebelumnya sulit ditemukan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era reformasi. “Bahkan, dalam KUHAP pun, sulit menemukan apa yang dimaksud dengan korban,” kata Semendawai selaku Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam rilis yang diterima PONTAS.id, Jakarta, Senin, (14/5/18).

Pascareformasi, lanjut Semendawai, dorongan agar tersedianya access to justice bagi korban bergulir. Ada dua elemen masyarakat yang gigih memperjuangkan hal itu, yaitu non government organization (NGO) dan akademisi. Setelah itu, lahirlah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur hak-hak saksi dan korban beserta mekanismenya. “Keinginan perlindungan saksi dan korban tidak hanya lahir dari dorongan lokal, tetapi juga internasional,” katanya.

Profesor Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia Fachri Bey menambahkan, fakta pada saat ini menunjukkan perhatian kepada korban masih sangat kecil dibandingkan dengan pelaku. Masih terlihat kecenderungan offender oriented, sementara masyarakat sebenarnya lebih menginginkan victim oriented. “Misal, ada kasus korban dirampok dan diperkosa. Ketika berobat, siapa yang bayar? Korban sendiri. Datang ke penyidik dan sidang, (korban) datang sendiri,” ungkap dia.

Beda halnya, menurut Fachri, perlakuan yang diberikan kepada pelaku. Pada saat persidangan, pelaku kejahatan diantar-jemput mobil khusus dari kejaksaan. Belum lagi bagi pelaku yang ancaman hukumannya tinggi, negara menyiapkan pengacara. “Tapi, perlahan Indonesia mulai berbenah dan sudah lahir lembaga khusus yaitu LPSK. Pada banyak kasus, Polri sudah kerap minta bantuan LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban,” katanya.

Previous articlePengusaha UKM Harus Maksimalkan Asian Games 2018
Next articleSebagian Wilayah DKI Bakal Diguyur Hujan Sore Hari

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here