Jakarta, PONTAS.ID – Terhambatnya pelayanan paspor di Ditjen Imigrasi, diduga dilakukan oknum masyarakat yang sengaja mengganggu sistem aplikasi antrean paspor online. Hasil investigasi, Dari hasil investigasi Ditjen Imigrasi menunjukkan adanya 72.000 lebih permohonan fiktif dengan modus melakukan pendaftaran online secara terus menerus. Tujuannya untuk menghabiskan kuota antrean dan menutup peluang masyarakat lainnya antre.
“Hasil investigasi intelijen keimigrasian menemukan adanya oknum masyarakat yang mengganggu sistem aplikasi antrean paspor sehingga mengganggu masyarakat yang akan mengajukan permohonan online,” jelas Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Agung Sampurno, seperti dikutip dari laman setkab.go.id, Senin (8/1/2018).
Akibatnya kata Agung, sejak akhir September hingga Januari 2018, terjadi antrean pemohon sehingga belum bisa terlayani.
“Terdapat puluhan oknum masyarakat yang melakukan pendaftaran fiktif. Akibatnya berapa pun kuota yang disediakan akan habis diambil oleh oknum masyarakat tersebut ditambah temuan adanya oknum petugas yang bermain dengan calo,” papar Agung.
Upaya yang dilakukan oleh Ditjen Imigrasi terkait meningkatnya permohonan dan animo masyarakat, menurut Agung, adalah dengan memberikan kemudahan dalam penggantian paspor yaitu dengan menyederhanakan persyaratan menjadi cukup membawa E-KTP dan Paspor lama saja.
Permudah Layanan
Lebih lanjut, Agung menyampaikan bahwa cara lain yang digunakan adalah memberikan pelayanan Sabtu/Minggu sejak Desember 2017 hingga Januari 2018.
“Sejak tanggal 25 Desember 2017 Ditjen Imigrasi telah melakukan pengembangan dan penyempurnaan aplikasi, sehingga pada Februari 2018 aplikasi akan diimplementasikan setelah terlebih dahulu didaftarkan di google apps,” tambah Agung.
Terhadap oknum petugas imigrasi yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik, lanjut Agung, telah dilakukan pemeriksaan dan diambil tindakan sesuai ketentuan kepegawaian yang berlaku.
“Untuk memberikan kemudahan pemberian paspor Ditjen Imigrasi telah bekerja sama dan berkordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait termasuk Kantor Staf Presiden (KSP) agar Pusat Data Keimigrasian (Pusdakim) dapat terintegrasi dengan data base Kartu Tanda Penduduk (KTP),” jelas Agung.
Dengan adanya integrasi database ini, menurut Agung, masyarakat tidak akan direpotkan dengan persyaratan kependudukan lagi.
“Partisipasi masyarakat juga diperlukan dalam hal pengawasan kepada oknum petugas yang menyalahgunakan kewenangan. Selain itu masyarakat juga perlu mengubah perilakunya agar lebih mempersiapkan rencana perjalanannya dengan baik sehingga tidak mendadak,” pungkas Agung.
Editor: Hendrik JS