Jakarta, PONTAS.ID – Komitmen Presiden Joko Widodo atau Jokowi melarang menteri rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik (parpol) diuji dalam calon pemilihan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, dimana nama menteri perindustrian Airlangga Hartanto menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan Setya Novanto (SN) yang berstatus tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK yang segera disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pasalnya, berkas perkara SN ini sudah lengkap atau P21 oleh KPK. Sehingga, gugatan praperadilan SN di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) atas penetapan status tersangkanya oleh KPK tidak bisa dilaksanakan seperti yang diatur dalam UU KUHAP.
Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi, mengatakan, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, tidak ada larangan seorang menteri menjabat pimpinan parpol. Hal ini juga diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 151/PUU-VII/2009 atas pengujian UU Kementerian Negara.
”Kendati demikian, sejak Presiden Jokowi menjabat ada konvensi yang tidak tertulis soal larangan rangkap jabatan menteri sebagai pimpinan/ketua umum parpol. Konvensi ini semestinya harus ditegakkan kepada siapapun,” kata Ferdian Andi, saat dihubungi, Rabu (6/12/2017).
Menurut Ferdian, spirit larangan rangkap jabatan pejabat publik sebagai pimpinan parpol dapat ditangkap sebagai upaya untuk menghindari konflik kepentingan pejabat publik dalam membuat kebijakan publik yang ditujukan untuk kepentingan politik atau kelompoknya.
Hal itu dibuktikan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY). Beberapa menterinya yang rangkap jabatan pimpinan Parpol terjerat kasus korupsi oleh KPK. Diantaranya, Suryadharma Ali yang bertugas sebagai Menteri Agama yang merangkap sebagai Ketua Umum PPP tersandung kasus korupsi dana haji.
Jero Wacik yang bertugas sebagai Menbudpar merangkap sebagai Ketua DPP Partai Demokrat tersandung kasus korupsi SKK Migas. Lalu Andi Mallarangeng yang bertugas sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga merangkap sebagai Ketua DPP Partai Demokrat tersandung kasus Hambalang.
“Meski perlu dicatat juga, larangan rangkap jabatan bukan berarti secara otomatis mengikis praktik-praktik berupa kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan kelompok/golongan tertentu saja,” ujar Ferdian yang juga dosen hukum tata negara Universitas Bhayangkara ini mengingatkan.
Anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra, Raden Muhammad Syafi’i menilai sudah basi Presiden Jokowi mengangkat menteri yang rangkap jabatan pimpinan parpol. Seperti Airlangga Hartanto rangkap jabatan sebagai Koordinator Bidang Perekonomian DPP Golkar.
Asman Abnur Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) merangkap Wakil Ketua Umum PAN. Lalu Eko Putro Sandjojo Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi merangkap Bendahara Umum PKB.
”Itu basi. Dari dulu itu saja isunya. Tetapi yang diangkat tetap yang rangkap-rangkap saja,” kata Romo Syafi’i, biasa pria ini disapa.
Menurut Romo, seharusnya Presiden Jokowi membuktikan komitmennya bahwa menteri tidak boleh rangkap jabatan di parpol. Pasalnya, hal itu berpotensi mengabaikan kepentingan publik, melainkan lebih kepada kepentingan parpolnya dalam mengambil kebijakan.
“Seharusnya Jokowi ngomong sesuai dengan tindakannya. Buktikan omongannya,” tegas anggota komisi III DPR ini.
Beda Rezim
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP, Arsul Sani, mengatakan dalam peraturan perundang-undangan tidak ada larangan menteri rangkap jabatan pimpinan parpol. ”Loh kan di UU tidak ada larangannya. Itu semua kebijakan saja Presiden masing-masing. Karenakan bosnya menteri Presiden. Misalnya zaman pak SBY boleh, zaman pak Jokowi tidak. Nanti kita lihat, pak Jokowi tetap pada kebijakan atau tidak,” jelas Arsul Sani.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II Pemerintahan SBY, banyak menteri-menteri yang bertugas sebagai pembantu presiden, merangkap jabatan selain sebagai menteri juga menempati posisi strategis di partai.
Beberapa menteri yang merangkap jabatan, seperti Muhaimin Iskandar yang bertugas sebagai Menakertrans juga bertugas sebagai Ketua Umum PKB , Suryadharma Ali yang bertugas sebagai Menteri Agama (sebelum tersandung kasus korupsi haji) juga merangkap sebagai Ketua Umum PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Hatta Rajasa yang bertugas sebagai Menteri Perekonomian juga menempati posisi strategis dalam PAN (Partai Amanat Nasional) sebagai Ketua Majelis Pertimbangan.
Lalu Jero Wacik yang bertugas sebagai Menbudpar merangkap sebagai Ketua DPP Partai Demokrat, Syariefuddin Hasan bertugas sebagai Meneg Koperasi dan UKM juga merangkap sebagai Ketua DPP Partai Demokrat, Andi Mallarangeng yang bertugas sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (sebelum tersandung kasus Hambalang) juga merangkap posisi strategis di Demokrat sebagai Ketua DPP, EE Mangindaan yang bertugas sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB) juga merangkap sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat.
Kemudian, yang menjadi puncak dari fenomena rangkap jabatan ini adalah saat SBY yang menjalankan tugasnya sebagai Kepala Negara, merangkap 4 jabatan sekaligus yaitu: sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat.
Asrul mencontohkan, apabila nantinya Jokowi tetap memperbolehkan Airlangga Hartanto rangkap jabatan sebagai Ketum Umum Golkar.
”Misalnya, menggeser kebijakannya dengan catatan-catatan tertentu, boleh merangkap tapi tidak boleh full di partainya. Bisa saja Ketum Partai menunjuk Ketua Harian syaratnya. Tanda tangan hal-hal strategis saja,” katanya.
Anggota Komisi III DPR ini enggan memberikan penilaian apakah tepat atau tidak kebijakan larangan menteri rangkap jabatan ini. Pasalnya, hal itu menjadi kewenangan Presiden untuk menunjuk siapa pembantunya di pemerintahan.
“Kalau dari kita sepanjang bisa membagi waktu dan tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan partainya, tidak masalah. Secara etika juga tidak masalah. Di Australia dan Inggris itu kan perdana menterinya pimpinan partai juga. Yang masalah itu kalau menyalahgunakan,” paparnya.
Airlangga Aklamasi
Pelaksana Tugas (Plt) Ketum DPP Golkar, Idrus Marham, tidak membantah adanya upaya dari para pendukung Airlangga Hartanto dari DPD I Golkar dan beberapa organisasi sayap Golkar agar dipilih sebagai Ketum Golkar secara aklamasi dalam Munaslub . “Kalau ada upaya boleh, masa upaya enggak boleh. Jadi jangan ada yang tersandera di partai ini,” kata Idrus Marham.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono mengatakan, pihaknya mendapat informasi bahwa Airlangga Hartarto telah mendapat izin Presiden Jokowi untuk merangkap jabatan sebagai menteri dan bakal calon Ketum Golkar. Dengan demikian, kata Agung, Airlangga hampir dipastikan tidak akan mengundurlan diri dari jabatan Menteri Perindustrian.
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) juga sudah mengatakan bahwa Airlangga tak perlu mundur dari menteri bila terpilih menjadi ketua umum Golkar. Pasalnya, hal itu tidak diatur dalam UU. “Iya tidak ada aturannya. Pak SBY, Ibu Mega, semua ketua partai, dia malah jadi presiden,” kata JK.
Airlangga pun enggan berandai-andai apabila benar terpilih secara aklamasi sebagai Ketum Golkar. Dia menegaskan hanya fokus pada proses rencana Munaslub. Soal jaminan JK itu, Airlangga tidak banyak berkomentar. Ia menjelaskan semua hal di kabinet merupakan hak Presiden Jokowi.