Jakarta, PONTAS.ID – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepakat menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% mulai 1 Januari 2020. Pengusaha menilai kebijakan tersebut memberatkan industri tembakau.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menganggap pemerintah tak peduli nasib petani tembakau dan nasib tenaga kerja. Keputusan itu dinilai memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT), karena tidak pernah diminta masukan.
“Keputusan yang dilakukan pemerintah ini juga tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri,” kata Henry menurut keterangan pers, Senin (16/9/2019).
Henry juga membeberkan dengan naiknya cukai tersebut setoran ke pemerintah akan naik drastis. Kenaikan ini juga dikhawatirkan memicu rokok ilegal marak beredar.
Selain itu, PT HM Sampoerna Tbk juga protes akan kebijakan tersebut.
Henry mengungkapkan, bila cukai naik 23% dan HJE naik 35% di tahun 2020, maka industri harus setor cukai dikisaran Rp 185 triliun, mengingat target cukai tahun ini Rp 157 triliun, belum termasuk Pajak Rokok 10% dan Ppn 9,1% dari HJE.
“Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami!” tegas Henry.
Ia juga menyoroti rencana pemerintah untuk simplifikasi atau menggabungkan layer (golongan) rokok. Menurutnya, rencana tersebut dapat menjadi ancaman bagi IHT.
“Belum lagi rencana simplifikasi atau penggabungan layer yang akan dilakukan pemerintah. Simplifikasi cukai merupakan ancaman bagi industri,” papar dia
Henry khawatir dengan dinaikkannya cukai, maka peredaran rokok ilegal semakin marak. Ia mengatakan, saat cukai naik 10% saja peredaran rokok ilegal demikian marak. Dengan kenaikan cukai 23% dan kenaikan HJE 35% dapat dipastikan peredaran rokok ilegal akan semakin marak.
“Masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal. Saat cukai naik 10% saja peredaran rokok ilegal demikian marak. Kalau cukai naik 23% dan HJE naik 35% dapat dipastikan peredaran rokok ilegal akan semakin marak,” terang Henry.
Selain itu, maraknya rokok elektrik juga ancaman bagi IHT. Rokok elektrik saat ini mulai tumbuh dengan perlakuan peraturan yang berbeda dengan rokok konvensional. Maka. kenaikan cukai dan HJE, serta maraknya rokok elektrik, menurut Henry, produksi IHT akan semakin menurun.
Sehingga, ia mengatakan, hal tersebut akan berdampak pada tenaga kerja di IHT. Kemudian, serapan tembakau dan cengkeh dari petani juga akan menurun.
“Dan akan berakibat kepada menurunnya penyerapan tembakau dan cengkeh, serta dampak kepada tenaga kerja,”tegas Henry.
Sementara itu salah satu perusahaan rokok terbesar yakni PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) menilai kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok 23%, dan HJE 35%, itu mengganggu ekosistem industri.
“Kami menilai kenaikan ini mengejutkan dan akan mengganggu ekosistem industri hasil tembakau (IHT) nasional,” kata Direktur Sampoerna, Troy Modlin menurut keterangan resminya.
Selain itu, Troy mengatakan, Sampoerna belum menerima rincian kebijakan tersebut dari pemerintah.
“PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) belum mendapatkan rincian aturan kebijakan cukai tersebut,” ungkapnya.
Langkah ini dinilai bisa berdampak pada keberlangsungan penyerapan tenaga kerja. Ia kemudian memberikan beberapa rekomendasi untuk pemerintah demi mendukung kelangsungan penyerapan tenaga kerja.
“Jika pemerintah bermaksud untuk memberlakukan kebijakan cukai yang dapat mendukung kelangsungan penyerapan tenaga kerja, kami merekomendasikan agar pemerintah menutup celah cukai pada sigaret buatan mesin sesegera mungkin, yaitu menggabungkan volume produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi 3 miliar batang per tahun,” terang dia.
Selain itu, langkah yang disarankan, kata Troy, yakni memastikan tarif cukai SKM/SPM lebih tinggi dari tarif cukai SKT. Perlu diketahui, saat ini tarif cukai SKM berkisar Rp 370-590 per batang. Kemudian, untuk tarif cukai SPM berkisar Rp 355-625 per batang. Sedangkan, tarif cukai SKT berkisar Rp 100-365.
Terakhir, ia meminta pemerintah tetap mempertahankan batasan produksi untuk SKT golongan II sebesar maksimal dua miliar batang per tahun. Ia berpendapat, dengan melaksanakan tiga rekomendasi tersebut maka pemerintah dapat menciptakan persaingan yang adil terhadap pelaku IHT.
Industri Rokok Kretek Mati
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Prof Dr Candra Fajri Ananda meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melihat secara holistik atau komprehensif terkait rencana simplifikasi tersebut. Bukan hanya dari sisi penerimaan untuk pemerintah pusat, tapi juga memperhatikan akibat turunannya apabila kebijakan tersebut diambil. Bukan hanya dari unsur kesehatan saja, tapi juga tingkat kesejahteraan masyarakat luas beserta pembangunan daerah.
Sistem penarikan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 156/ 2018 merupakan sistem yang ideal dan diterima seluruh pelaku ekonomi.
“Saya pikir BKF perlu melihat ulang kebijakan (Simplifikasi) ini dengan melihat banyak aspek, tidak hanya pada industrinya saja tapi mulai dari hulunya, tenaga kerja, pendapatan asli daerah juga pemerintah daerah. Sekitar 70% pemerintah daerah sangat tergantung kepada pengiriman dari pemerintah pusat. Salah satunya dana bagi hasil cukai tembakau atau DBHCT. Kalau sampai ada perubahan kebijakan di bidang penarikan cukai, akan terjadi penurunan pendapatan cukai karena ada perubahan sistem penarikan atau simplifikasi, itu bisa berbahaya bagi daerah. Pembangunan dan daerah bisa terbengkalai,” ujar Candra.
Menurutnya sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas PMK 156/2018 ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai.
Hingga bulan Juli 2019, target cukai tembakau dari Rp 159 triliun sudah tercapai Rp 130 triliun. Dia juga yakin target 2020 yang mencapai sekitar Rp 170 triliun akan tercapai.
“Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi? Ini sudah mendekati 100% kok targetnya, apa masalahnya? Kenapa sistem yang sudah baik, target sudah tercapai, ko diganggu ganggu,” tambahnya.
Candra mengaku khawatir, jika sistem penarikan cukai diubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan berdampak buruk. Sebab yang semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, dikelompokkan ke dalam kelompok yang ada di atasnya, sehingga harus membayar cukai yang lebih besar dari yang seharusnya.
Dengan begitu, akan mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil. Jika pabrik pabrik rokok menengah dan kecil mati, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau.
Tak hanya itu, menurut Candra juga akan menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah,mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok.
“Jangan sampai nanti Presiden Joko Widodo, yang sudah memutuskan kebijakan yang sangat baik untuk menolak simplifikasi lewat PMIK 156/2018, karena didesak Kementerian Keuangan untuk menyetujui simplifikasi, malah mendapatkan protes dan demonstrasi dari para petani cengkih dan tembakau serta buruh rokok di berbagai daerah. Kementrian Keuangan dan BKF harus mendukung kebijakan kebijakan presiden yang sudah baik,” tegasnya.
Tanya Menkeu
Terpisah, pihak pemerintah dalam hal ini Menko Perekonomian Darmin Nasution ogah menanggapi perihal kenaikan cukai rokok sampai 23 persen.
Dia pun mengatakan, mengatakan, teknis kebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rata-rata 35 persen itu ada di Kementerian Keuangan.
“Tanya Kementerian Keuangan lah kalau teknisnya. Yang menyiapkan itu adalah Kementerian Keuangan, tetapi memang kenaikannya ya besar, karena terutama tahun lalu enggak naik,” kata Darmin.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan kenaikan cukai rokok ini maka otomatis harga jual rokok eceran juga naik, yakni ke angka 35 persen. Kenaikan cukai dan harga jual eceran ini mulai berlaku 1 Januari 2020 dan akan ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
“Dengan demikian kita akan memulai persiapan, sehingga nanti pemesanan pita cukai baru akan bisa dilakukan dalam masa transisi,” ucap Sri Mulyani di Istana Negara.
Sri Mulyani menambahkan, penerimaan negara dari cukai rokok setelah kenaikan ini diperkirakan akan naik sebesar Rp 173 triliun pada 2020.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Hendrik JS