Jakarta, PONTAS.ID – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait industri tembakau yang dianggap tidak sesuai dengan aturan yang disusun pada UU 17/2023 menarik perhatian anggota DPR RI.
Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengatakan, dalam peraturan ini ada beberapa ketentuan yang berpotensi merugikan industri. Seperti pasal mengenai desain kemasan polos, pembatasan iklan dan promosi, hingga sensor produk tembakau.
Kata Firman, aturan ketat yang tertulis dalam RPMK tersebut dapat menciptakan ekosistem yang tidak kondusif serta mematikan industri.
“Bicara terkait diskriminatif, apakah PP yang dibuat pemerintah dan aturan turunan sekarang diskriminatif atau tidak? Jelas diskriminatif,” kata Firman, Jumat (13/9/2024).
“Ada harkat hidup orang banyak, tenaga kerja, pendapatan negara. Ini melanggar HAM, mudah-mudahan didengarkan pemerintah,” imbuhnya.
Sejak aturan turunan UU 17/2023 yang tertuang pada PP 28/2024, industri tembakau terus menyuarakan penolakan demi mempertahankan keberlangsungan industri, utamanya di tengah situasi ekonomi yang masih bergejolak dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai industri lainnya.
Hadirnya RPMK yang terbilang cukup singkat jangka waktu penyusunannya sejak PP 28/2024 disahkan pada akhir Juli lalu, dinilai menjadi bukti bagi industri bahwa masukan-masukan yang telah diberikan tidak dijadikan pertimbangan dalam menyusun kerangka implementasi aturan di lapangan.
Firman pun menilai, Pemerintah harus mempertimbangkan dampak besar yang diterima oleh rakyat kecil dari penerapan PP 28/2024. Ruang lingkup pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429-463 dalam PP 28/2024 dinilai akan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal di tanah air.
Peraturan tersebut dapat berdampak pada PHK massal hingga merosotnya perekonomian petani tembakau dan UMKM.
“Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah harus membela rakyat kecil. Selain itu industri juga perlu dilindungi karena kalau pabrik bangkrut akibat regulasi yang dikeluarkan, gelombang PHK akan banyak dan dampaknya pengangguran jadi meningkat,” tandasnya.
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, memandang bahwa regulasi ini belum melalui kajian mendalam yang melibatkan industri, akademisi, serikat, dan masyarakat umum.
Tanpa keterlibatan itu, regulasi yang ada berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi bagi pemangku kepentingan, seperti petani tembakau, pekerja industri, hingga industri kreatif yang juga bergantung pada iklan tembakau.
“Industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu penyumbang utama pendapatan negara. Saya memahami kekhawatiran industri, maka kebijakan ini perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan industri dan lapangan kerja,” tandasnya.
Melihat banyaknya industri yang bersinggungan, termasuk dampak ekonomi yang juga akan terjadi, Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo pun menyebutkan perlunya keseimbangan antara upaya kesehatan, kepentingan industri, dan hak konsumen agar tidak saling berbentrokan.
“Keseimbangan ini penting dan harus dijaga, agar kebijakan kesehatan tidak berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan hak konsumen,” tegasnya.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi menilai bahwa apa yang tertuang dari aturan tersebut telah menunjukkan bahwa aturan memang tidak dirumuskan dengan mempertimbangkan pemangku kepentingan lainnya.
“Misalnya Pada PP Kesehatan tidak mengatur terkait standardisasi kesehatan, hanya terkait PHW. Namun, kenapa di RPMK muncul pasal standardisasi kemasan ini? Kami menyatakan keberatan terkait pasal tersebut. Ini bisa berdampak ekonomi, hingga investasi. Ini yang harus kita jaga agar peraturan yang baru tidak menimbulkan masalah baru,” katanya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Penguasa Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengutarakan bahwa regulasi kesehatan yang terlalu ketat seperti ini berpotensi mengintervensi sektor ekonomi dan hiburan secara berlebihan. Padahal, pengaturan yang mempertimbangkan dampaknya bagi seluruh pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Seluruh asosiasi terkait telah sepakat menolak PP No. 28 tahun 2024 dan RPMK.
“Kami yakin kami sebagai pelaku usaha yang berkontribusi dalam pajak, tenaga kerja, konsumsi rumah tangga, ini perlu dilihat secara menyeluruh. Harus dianalisa dulu, kalau aturan dikeluarkan dengan maksud tujuan menimbulkan polemik, kemudian nanti dicabut atau direvisi melalui revisi uji materi, untuk apa? Di sini kami hanya mengungkapkan, banyak pasal karet, ada ketidaksesuaian dengan realitas di lapangan,” ujarnya.