Jakarta, PONTAS.ID – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga mengajak seluruh komponen bangsa untuk menjaga kesejukan dan toleransi antar umat agama jelang Pemilu 2024. Jangan sampai karena tenggelam dalam hiruk pikuk Pemilu, melupakan nilai-nilai toleransi dan kedamaian seperti yang diajarkan dalam agama masing-masing.
“Seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini kita telah memasuki tahun politik. Untuk itu saya mengajak mengajak seluruh komponen bangsa untuk tidak terjebak pada politik identitas atau pertikaian yang membawa-bawa nama agama. Kita semua adalah anak-anak bangsa yang lahir dari rahim Indonesia. Jangan rusak persaudaraan ini hanya karena Pemilu,” ujar Bambang Soesatyo, Jumat 4 Agustus 2023.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menuturkan, semangat kebersamaan harus selalu dikedepankan oleh seluruh elemen bangsa dalam menghadapi Pemilu 2024. Pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat harus dijalankan dengan sukacita, bukan justru berimbas kepada perpecahan bangsa.
“Tidak boleh ada lagi politik identitas yang membentuk polarisasi di tengah masyarakat. Kita pernah merasakan itu dan residunya masih ada sampai hari ini. Partai politik boleh saling bersaing untuk mendapat dukungan masyarakat, tetapi tidak dengan membawa isu agama, suku, ras yang menciderai demokrasi Indonesia,” kata pria akrab disapa Bamsoet ini.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, politik identitas kerap membuat tokoh agama acap kali dihujat karena berbeda haluan politik. Tidak hanya itu, presiden, petinggi parpol, hingga lembaga negara juga dilecehkan karena politik identitas.
“Politik identitas juga membuat sebagian pihak tidak menganggap adanya program pemerintah. Bahkan akibat hal itu pembunuhan karakter, politisasi agama, hingga isu SARA tumbuh. Mari kita perkuat kembali sendi-sendi politik kebangsaan yang memberi ruang dan penghormatan terhadap kebhinekaan,” pungkas Bamsoet yang juga Wakil Ketua Umum FKPPI ini.
Lahirkan Pembelahan Masyarakat
Senada dengan Bamsoet, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengingatkan politik identitas sangat berbahaya jika diterapkan sebab politik ini dapat melahirkan oposisi biner yang memperhadapkan pemerintah dengan masyarakat, atau masyarakat dengan masyarakat lain yang merasa saling berbeda.
“Politik identitas bisa membelah masyarakat dalam waktu yang lama. Ini terjadi karena politik identitas adalah bagian dari strategi politik itu sendiri yang fokus mencari perbedaan di tengah masyarakat lalu memanfaatkan primordialisme masyarakat untuk menarik simpati politik,” kata Ahmad Basarah.
Sebagai contoh, Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu merujuk pada Pemilu 2019, ketika narasi Partai Allah versus Partai Setan mudah ditemukan, atau Pilpres 2019 disamakan dengan Perang Badar di zaman Rasulullah SAW.
“Ini tentu tidak benar sebab Perang Badar adalah pertempuran antara umat Islam melawan kaum musyrik penyembah berhala, padahal masyarakat Indonesia tak ada yang menyembah berhala, malah mayoritas masyarakat adalah Muslim,” ujar Basarah.
Ketua DPP PDI Perjuangan itu juga mengingatkan, demi ambisi ingin memenangkan kontestasi pemilu lewat jalur pintas yang tidak elegan, para pelaku politik identitas bahkan rela melakukan kampanye hitam (Black Campagin) lewat berita-berita bohong, hoaks, fitnah, dan kabar-kabar menyesatkan lainnya asal tujuan mereka tercapai.
“Mereka tidak mementingkan politik kebangsaan, tidak peduli tindakan mereka mengancam persatuan bangsa atau tidak, pokoknya asal menang, segala cara bakal mereka lakukan. Padahal, berita bohong dan fitnah yang mereka sebar membekas di hati masyarakat bertahun-tahun, bahkan sampai Pemilu telah lama usai,” tegas Basarah yang juga Ketua Fraksi PDIP MPR RI ini.
Ketua Dewan Pakar Persatuan Alumni GMNI ini menambahkan, kini penggunaan narasi politik identitas telah sampai pada fase yang sangat sensitif ketika relasi agama dan negara dipersoalkan lagi, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibenturkan dengan ideologi khilafah, bahkan sangat terasa ada ‘invisible hand’ yang berupaya mengadu domba kaum nasionalis dengan kelompok Islam, Tentara Nasional Indonesia (TNI) versus Polri.
Untuk itu, Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Malang Raya ini mengajak semua aktivis partai politik dari partai apa pun untuk memaksimalkan Undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang partai politik. “Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa parpol harus melakukan pendidikan politik, menciptakan iklim persatuan dan kesatuan, menyerap dan menyalurkan aspirasi rakyat, mengamalkan Pancasila, serta memelihara keutuhan NKRI,” jelas Ahmad Basarah.
Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang ini juga mengimbau semua pihak kembali pada UU Pemilu No. 7/2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf c, yang menegaskan pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain.
“Jika semua undang-undang ini dimaksimalkan, termasuk undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang tentang informasi dan transaksi elektronik juga melarang penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat, maka dengan sendirinya kita semua sudah melakukan kontra narasi terhadap digunakannya politik identitas itu,” tandas Ahmad Basarah.
Perjuangkan Kelompok Minoritas
Sementara itu, Pengamat politik sekaligus dosen Sosilogi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Wahyudi Winarjo mengatakan, pola politik yang marak di Indonesia, yakni salah satunya penggunaan Politik Identitas dalam pelaksanannya. Sehingga, tak jarang terjadi permasalahan Suku, Ras dan Agama (SARA) selama pelaksanaan pemilu.
Hal ini, menurut Wahyudi, tidak seharusnya terjadi. Sebab, politik identitas merupakan hal yang baik pada awalnya. Karena, bertujuan untuk memperjuangkan kelompok minoritas ditatanan sosial masyarakat.
“Pada pelaksaanan kontestasi politik di Indonesia, perlulah para calon menunjukan perilaku dewasa dalam pelaksanaanya, seperti tidak memunculkan pemahaman-pemahaman yang bisa memojokan sekelompok masyarakat,” ujar Wahyudi.
Jika hal itu disalah implementasikan, seperti yang selama ini terjadi, maka perilaku tidak toleransi akan terjadi. Maka, sudah seharusnya pola politik identitas bisa dilakukan seperti yang seharusnya.
“Sebab, ditengah pluralitas yang ada di Indonesia, sudah seyogyanya perilaku saling menghormati dan berloteransi selama kontestasi diwujudkan,” ungkapnya.
Wartawan senior Ilhamzada menjabarkan, pola politik identitas yang terjadi di Indonesia sekarang, para calon memanfaatkan platform media sosial dan media mainstream dalam bentuk pemberitaan untuk saling menyerang satu sama lain.
“Media sosial saat ini, sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi masyarakat kepada isu -isu tertentu, salah satunya politik atau pemilu nantinya,” katanya.
Menurutnya, tampilan dari angka -angka yang menunjukan berapa banyak masyarakat online membicarakan para calon, dapat mempengaruhi pertimbangan masyarakat saat memilih salah satu calon. Hal inillah yang disebut persepsi dan hal inilah yang menjadi salah satu faktor bagaimana politik identitas dapat terjadi.
“Rawannnya ketika masyarakat, khususnya anak muda tidak selektif dalam menerima informasi dan menyebar informasi bisa menjadi awal dari munculnya isu sara ketika politik identitas terjadi saat kontestasi politik nanti,” tuturnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Pahala Simanjuntak