Jakarta, PONTAS.ID – Deputi Bidang Usaha Kecil & Menengah Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), Hanung Harimba Rachman, menegaskan, pihaknya memberikan perlindungan penuh bagi para pelaku koperasi dan UMKM (KUMKM) yang go digital dari bahaya praktik cross-border ilegal pada platform e-commerce.
Hanung bilang, pihaknya akan berkoordinasi dan bekerja sama lintas kementerian/lembaga karena pengelolaannya di luar kementerian.
Komitmen keberpihakan yang kuat dan pelindungan terhadap UMKM tercermin dari berbagai kebijakan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM juga telah resmi diundangkan.
“PP ini menjadi krusial sebagai upaya pemerintah melindungi UMKM dari praktik predatory pricing. KemenkopUKM akan memastikan pelindungan terhadap produk Koperasi & UMKM menjadi prioritas utama,” kata Hanung, dalam siaran persnya dikutip Selasa (16/3/2021).
Dalam audiensi yang digelar KemenkopUKM bersama perwakilan pengusaha pemegang hak impor produk kecantikan internasional seperti Sociolla, Nature Republic, dan PeriPera. Para pelaku usaha menyampaikan keluhan dan paparan data perihal potensi terjadinya praktik cross border ilegal pada platform e-commerce yang berdampak buruk tidak hanya untuk pengusaha pemegang hak impor resmi, namun juga pelaku UMKM lokal.
Produk asing ilegal yang berharga sangat murah dan belum tentu asli bisa mengancam produk lokal. Potensi kerugian negara juga sangat besar akibat praktik cross border ilegal karena tidak ada pajak yang dibayarkan.
Produk ilegal yang banyak dikeluhkan adalah barang-barang lartas yaitu kimia, kosmetik, obat, dan lain-lain. Produk tersebut diimpor dan beredar tanpa izin melalui e-commerce.
Praktik ini menyebabkan banyaknya produk palsu dan ilegal di luar akun merchant resmi dengan harga yang jauh lebih murah beredar melalui e-commerce, karena tidak mengurus izin BPOM dan diduga tidak membayar pajak sesuai peraturan.
Hanung menegaskan, pelindungan pemerintah terhadap UMKM terkait produk yang masuk dari negara lain telah dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK/010/2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari US$ 75 menjadi US$ 3.
Saat ini, barang impor di atas US$ 3 dikenakan tarif pajak sebesar 17,5% yang terdiri dari bea masuk 7,5%, PPN 10%, dan PPh 0%.
Di sisi lain PP 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik juga telah mengatur berkenaan aktivitas perdagangan melalui platform digital seperti e-commerce.
Pemilik hak impor eksklusif Nature Republik, Franseda, mengatakan, selama ini proses legal terus mereka lakukan, baik dari laporan, aduan, dan lainnya, tapi praktik ilegal terus terjadi. Menurutnya, harus ada pelindungan menyeluruh bagi pelaku usaha di e-commerce, investigasi kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, dan penyempurnaan regulasi.
“Kami merasa perlu menyampaikan temuan, kerugian, dan ketidakadilan, serta kemungkinan efek negatif yang dapat timbul di kemudian hari bagi perekonomian di Indonesia khususnya bagi pelaku UMKM,” paparnya.
Sementara itu, Co-Founder dan CEO Social Bella, John Rasjid, menyampaikan, permohonan untuk pemerintah dapat melakukan pengkajian peraturan yang memberi celah praktik tidak sehat dari cross border e-commerce. Serta membentuk task force untuk memantau kegiatan marketplace e-commerce dengan seksama demi menghindari terjadinya praktik yang merugikan konsumen.
Sebagai informasi, jika praktik cross border tidak memiliki regulasi yang baik, dinilai akan merugikan banyak pihak. Pengusaha akan mengalami kerugian karena produk mereka akan kalah bersaing dengan produk cross border ilegal yang harganya jauh lebih murah.
Konsumen juga akan dirugikan karena keaslian dari produk cross border ilegal tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bisa berakibat fatal terhadap kesehatan serta keselamatan konsumen. Selain itu negara juga akan dirugikan karena adanya potensi kehilangan pendapatan negara akibat tidak adanya penerimaan pajak dari produk cross border ilegal tersebut.
Penulis: Riana
Editor: Luki Herdian