Jakarta, PONTAS.ID – Menteri Kesehatan (Menkes), Nila Moeloek memberikan tanggapan terkait rencana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang ingin menaikkan iuran bagi pesertanya.
Menurut dia, kenaikan iuran tersebut nantinya harus bisa diiringi dengan kesesuaian antara penerimaan iuran oleh BPJS, dan manfaat yang diterima oleh masyarakat.
“Harus kaji dengan simulasi-simulasi. Penerimaan dan manfaat harus sesuai. Tidak bisa penerimaan bertambah, tapi manfaat tidak,” kata Nila kepada wartawan di Jakarta, Jumat (14/6/2019).
Dia pun menegaskan, bahwa rencana kenaikan iuran tersebut harus dikaji dengan sebaik-baiknya, dan juga dihitung kembali. Menurutnya, jangka waktu berlakunya tarif baru itu tidak bakal selamanya, melainkan ada durasinya.
Soal alasan mengapa diperlukan perubahan tarif, Nila menjelaskan bahwa hal itu disesuaikan dengan populasi masyarakat Indonesia, yang terus bertambah setiap tahunnya. Selain itu, juga karena jenis dari populasi itu sendiri.
Misalnya, populasi lansia meningkat, penyakit degeneratif pun pasti meningkat. Menkes mencontohkan, katarak akan jadi salah satu penyakit yang banyak diderita di masa depan. Lalu, ad juga penyakit tulang.
“Artinya, kita harus betul mengkaji, dalam hal ini terkait kenaikan iuran,” ujarnya.
Defisit
Sebelumnya, BPJS Kesehatan dapat dipastikan masih mengalami defisit. Salah satu sumbernya karena iuran tidak sama dengan iuran yang dihitung secara aktuaris. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun telah melakukan rapat untuk menghitung nilai aktuaris yang baru.
Pada awal terbentuknya BPJS Kesehatan, DJSN sudah mengusulkan standar iuran untuk mereka yang kelas 3 maupun peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar 36 ribu rupiah.
Namun hingga kini nilai tersebut tidak dipatuhi pemerintah. Di tahun ini saja iuran PBI masih 23 ribu rupiah. Padahal jumlah peserta sudah dinaikan menjadi 98 juta orang.
Anggota DJSN, Ahmad Ansyori mengatakan bahwa sudah tiga kali DJSN melakukan rapat untuk membahas besaran iuran. Sudah ada wacana, iuran harus naik menjadi 38 ribu rupiah untuk peserta PBI.
”Namun ini masih tentatif,” kata Ansyori, Minggu (26/5/2019).
Menurutnya, untuk iuran PBI memang harus ada kenaikan. Sebab, iuran yang ditetapkan sekarang tidak relevan lagi.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas pun pernah membeberkan bahwa iuran yang lebih kecil daripada klaim akan akan menimbulkan kerugian bagi BPJS Kesehatan. Untuk menanggulangi hal ini, dia menyarankan agar jumlah iuran peserta diperbaiki.
”BPJS Kesehatan juga akan mendorong kepatuhan untuk membayar iuran,” ujar Iqbal.
Selama ini memang tidak ada aturan untuk memberikan sanksi bagi mereka yang tidak tertib iuran. Yang selama ini dilakukan hanya mencabut kepesertaannya. Hal ini dinilai menjadi salah satu penyebab ada masyarakat yang mokong tidak membayar iuran.
Untuk menanggulangi kekurangan pembiayaan, pemerintah menyuntikkan dana talangan namun sebelumnya dilakukan audit. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah dua tahun ini melakukan audit. Namun hal itu dinilai tidak menyelesaikan masalah.
”Permasalahan utama adalah besaran iurannya. Ini solusi fundamental,” ucap Asisten Deputi Direksi Bidang Data Based, Nuik Mubaraq.
Setelah besaran iuran ini sesuai dengan saran DJSN maka langkah selanjutnya adalah mendorong peserta agar patuh membayar iuran.
Diamini Menkeu
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengaku pemerintah siap mengabulkan usulan kenaikan iuran premi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk segmen penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah.
Kenaikan iuran premi bagi segmen PBI nantinya akan mengacu pada hasil audit tahap ketiga atau keseluruhan yang dilakukan oleh BPKP.
“Kita sudah mulai mempertimbangkan untuk menaikkan iuran yang dibayarkan melalui PBI-pemerintah,” kata Sri Mulyani di komplek Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019).
Dia menuturkan, iuran premi segmen PBI akan lebih tinggi dari yang sekarang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun, iuran peserta JKN-KIS yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 19 dan 28 Tahun 2016, untuk peserta penerima bantuan iuran adalah sebesar 23 ribu rupiah dari seharusnya 36 ribu rupiah setiap bulan.
Sedangkan, peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas I sebesar 80 ribu rupiah, kelas II 51 ribu rupiah dari seharusnya 63 ribu rupiah, dan peserta kelas III sebesar 25.500 rupiah dari semestinya 53 ribu rupiah. Sedangkan untuk pekerja penerima upah (PPU) 5 persen dari apabila pendapatannya sesuai ketentuan di atas 8 juta rupiah.
“Dari yang sekarang ini 23 ribu rupiah menjadi lebih tinggi lagi. Tapi belum ditetapkan namun sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan. Juga jumlah penerimanya dinaikkan jadi di atas 100 juta orang,” ungkap dia.
Penulis: Risman Septian
Editor: Idul HM