Bungkam Oposan, DPR Sebut UU ITE Jadi Senjata Penguasa

Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menyebutkan kalau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eelektronik (UU ITE), berpotensi dan terbukti dijadikan senjata oleh penguasan saat ini, untuk membungkam mereka para oposan yang berbeda dengan pemerintah.

“Yang mencemaskan adalah negara menjadi juru tafsir atas wilayah privat, dengan merampas kebebasan berpendapat atas nama penegakan hukum,” kata Fahri Hamzah menanggapi dugaan pemanfaatan kelemahan UU ITE yang saat ini sedang ramai dibicarakan di gedung DPR, Rabu (6/2/2019).

Apalagi, lanjut politisi PKS itu, UU ITE kini ramai diperbincangkan lantaran para korbannya merupakan tokoh-tokoh publik.

“Di sini, kita wajib merasa khawatir, karena negara direpresentasikan oleh pemerintah yang berpihak/ partisan. Ia bergerak melalui yudikatif yang tidak sepenuhnya mandiri,” tambahnya lagi.

Kenapa ini terjadi? Menurut Fahri Hamzah karena negara tidak siap berdialog secara demokratis dan dewasa. Bahkan, Negara mempersonalisasi kritik, meski tidak secara langsung.

“Tapi ia (penguasa), menunggu tokoh-tokoh oposan salah ucap. Padahal, negara-negara demokrasi tidak memasukan pencemaran nama baik sebagai bagian dari hukum pidana,” sebut dia.

Dirinya menyesalkan sikap aparat penegak hukum yang ‘dipaksa’ dalam pertarungan politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Padahal itu dapat berdampak pada kerugian instansi penegak hukum, seperti kepolisian hingga pengadilan menjadi babak belur.

“Ini yang saya sedihkan, aparat penegak hukum kita dipaksa ada dalam pusaran perkelahian politik yang tentunya merugikan institusi penegak hukum. Akibatnya, mereka jadi berantakan,” sambungnya.

Untuk itu, Fahri yang juga penggagas Gerakan Arah baru Indonesia (GARBI) itu memberikan usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), supaya kasus-kasus terkait pelanggaran UU ITE tidak lagi terulang dikemudian hari.

“Dalam Perppu nya itu, Presiden bilang Undang Undang ITE itu tidak boleh lagi dipakai untuk kasus pencemaran nama baik dan sebagainya. Ini perlu, supaya lapor melapor antar warga negara itu dihentikan,” ucapnya.

Meskipun sedang menjelang Pemilu 2019, namun menurut Fahri, Presiden Jokowi harus punya keberanian mengambil politik hukum dan tidak bisa nunggu DPR, karena DPR-nya lama dan ini lagi dalam transisi.

“Kalau presiden berani menghentikan ini, dia pasti dapat kredit, tapi kalau dia mengambil keuntungan dari ini percayalah kalau dia rugi,” tegasnya.

Editor: Luki Herdian

Previous articleWagub DKI yang Baru Harus Bisa Tingkatkan Serapan Anggaran
Next articlePemerintah Terus Kebut Peningkatan Rasio Elektrifikasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here