Aturan Kampanye KPU Tidak Berkepastian Hukum

oleh: Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahudin

Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip penyelenggaraan Pemilu yang harus dipedomani oleh KPU.

Sayangnya, Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur ketentuan kampanye justru menjauh dari prinsip tersebut. Hal itu setidaknya ditunjukan pada empat hal.

Pertama, inkonsistensi aturan. Bayangkan, dalam waktu tiga bulan, KPU sudah menerbitkan tiga Peraturan, yaitu PKPU 23/2018 di bulan Juli 2018, PKPU 28/2018 di bulan Agustus 2018, dan PKPU 33/2018 di bulan September 2018.

Ini artinya, aturan kampanye selalu diubah oleh KPU setiap satu bulan sekali. Parahnya lagi, pengubahan aturan dilakukan ditengah masa kampanye.

Kedua, ketidakjelasan rumusan. Dulu, KPU selalu mendorong pembentuk undang-undang agar memperluas definisi kampanye tidak hanya meliputi kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program, tetapi meliputi pula citra diri.

Masalahnya, ketika UU 7/2017 Tentang Pemilu sudah mengakomodir citra diri sebagai bagian dari unsur kampanye, KPU justru tidak mampu menjelaskan apa itu citra diri.

Didalam PKPU 23/2018 tidak ada penjelasan, di PKPU 28/2018 pun nihil. Padahal tahapan kampanye sudah berjalan.

Baru pada PKPU ketiga, yaitu PKPU 33/2018, ketentuan mengenai citra diri disinggung. Tetapi dalam klausul itupun masih belum muncul pengertian citra diri.

Tetapi ditinjau dari rumusan normanya, KPU sepertinya ingin membatasi citra diri dalam pengertian tanda gambar dan nomor urut partai politik.

Pertanyaannya, pertama, bagaimana dengan batasan citra diri bagi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres), serta Calon Anggota DPD? Bukankah Peserta Pemilu tidak hanya partai politik?

Kedua, jika dalam PKPU 33/2018 citra diri hanya dikaitkan dengan bahan kampanye, alat peraga dan media sosial, lalu bagaimana jika ada calon yang melakukan suatu kegiatan atau pertemuan dengan pihak lain, tanpa membawa atau menyebutkan tanda gambar, nomor urut, serta ajakan memilih. Apakah yang demikian itu serta-merta digolongkan sebagai kegiatan kampanye?

Ketidakjelasan pengertian citra diri khususnya terkait interaksi calon dengan pihak lain inilah yang kemudian memunculkan permasalahan dilapangan ketika masyarakat membuat penafsiran sendiri-sendiri tentang pengertian citra diri sebagai unsur kampanye.

Bagi sebagian masyarakat, ketika seorang calon melakukan aktivitas di lingkungan kampus, tempat ibadah, rumah sakit, gedung pemerintah, atau tampil di televisi, misalnya, kegiatan itu langsung dituding sebagai kegiatan kampanye ditempat yang dilarang atau kampanye diluar jadwal.

Dasar tudingan itu sederhana saja: kehadiran atau penampilan calon secara fisik itulah yang digolongkan sebagai kampanye dalam bentuk citra diri, betapapun dalam pemunculannya, calon bersangkutan tidak menyertakan tanda gambar, atau menyebutkan nomor urut serta ajakan memilih.

Akibat dari ketidakjelasan terminologi citra diri tersebut, Cawapres Nomor Urut 02 Sandiaga Uno menjadi salah satu korbannya. Sandi dilaporkan ke Pengawas Pemilu karena dituding telah melakukan pelanggaran kampanye ketika mengisi suatu acara dilingkungan kampus.

Sepanjang KPU tidak memperjelas pengertian citra diri, maka hampir dapat dipastikan pada waktu yang lain akan muncul tudingan dan laporan pelanggaran kampanye terhadap calon yang sejatinya belum tentu melakukan aktivitas kampanye, tetapi karena ia hadir di tempat-tempat yang dilarang untuk berkampanye, aktivitasnya itu dianggap sebagai bentuk dari citra diri yang menjadi bagian dari kampanye.

Misal, mungkin saja Capres Nomor Urut 01 akan dituding melakukan kampanye dalam bentuk citra diri ketika dalam kapasitasnya sebagai Presdien melakukan pertemuan dengan suatu kelompok masyarakat di Istana Negara atau di gedung lain milik pemerintah.

Begitupun dengan Capres dan Cawapres Nomor Urut 02 dan Cawapres Nomor Urut 01 bisa dianggap melanggar ketentuan kampanye ketika mereka datang ke pondok-pondok pesantren yang tergolong sebagai tempat pendidikan karena kehadirannya itu digolongkan sebagai bentuk citra diri kampanye.

Hal ketiga yang menunjukan aturan kampanye KPU tidak berkepastian hukum adalah terkait dengan ketentuan mengenai spesifikasi alat peraga kampanye seperti billboard, videotron, dan umbul-umbul, misalnya.

Sebelumnya, dalam PKPU 23/2018, KPU membatasi ukuran billboard atau videotron untuk Peserta Pemilu paling besar berukuran 4 m x 7 m.

Tetapi tiba-tiba muncul PKPU 33/2018 yang memperbolehkan Peserta Pemilu untuk memasang billboard atau videotron sampai dengan ukuran 4 m x 8 m.

Bagi Peserta Pemilu yang telah lebih dahulu memasang billboard atau videotron dengan ukuran menurut PKPU 23/2018, perubahan aturan itu jelas merugikan.

Sebab, ukuran billboard atau videotron mereka akan kalah besar dengan Peserta Pemilu yang baru belakangan memasang billboard atau videotron dengan rujukan PKPU 33/2018.

Begitu pula dengan Peserta Pemilu yang kadung sudah mencetak umbul-umbul dengan ukuran maksimal 5 m x 7 m berdasarkan PKPU 23/2018.

Mereka akan sangat dirugikan karena berpotensi tidak dapat memasang alat peraga yang sudah dicetaknya sebab PKPU 33/2018 tiba-tiba membatasi ukuran maksimal umbul-umbul menjadi 1,15 m x 5 m.

Hal keempat yang menunjukan aturan kampanye yang dibentuk oleh KPU tidak berkepastian hukum adalah terkait dengan kampanye di media sosial.

Sebagai metode kampanye yang baru pertama kali diatur dalam Pemilu, media sosial dimasukan oleh KPU sebagai bagian dari iklan kampanye di internet.

Masalahnya, didalam PKPU Kampanye, tidak jelas diatur mengenai batasan media sosial sebagai bagian dari iklan kampanye.

Apakah setiap pesan kampanye dalam bentuk tulisan, suara, gambar, atau gabungan dari ketiganya, yang diposting atau disebarluaskan oleh Peserta Pemilu atau masyarakat di media sosial serta-merta tergolong sebagai iklan kampanye?

Ataukah, kampanye di media sosial baru digolongkan sebagai iklan kampanye jika ditayangkan secara langsung oleh perusahaan media sosial bersangkutan.

Kedua hal diatas jelas memiliki pengertian yang berbeda. Pada pengertian yang pertama, Peserta Pemilu atau masyarakat dapat secara bebas menyampaikan pesan kampanye melalui media sosial tanpa adanya biaya, sejak tanggal 23 September 2018.

Sedangkan pada pengertian yang kedua, pesan kampanye ditayangkan langsung oleh pihak perusahaan media sosial setelah Peserta Pemilu membayar sejumlah uang sebagai biaya iklan (bersponsor), dengan jadwal penayangan mulai tanggal 24 Maret 2019.

Kedua hal diatas sudah barang tentu memerlukan kejelasan dari KPU agar tidak membingungkan atau menimbulkan keragu-raguan bagi Peserta Pemilu ketika ingin berkampanye di media sosial.

Apalagi kampanye melalui internet atau media sosial yang dikategorikan sebagai iklan kampanye dapat berujung pada pengenaan sanksi pidana jika dilakukan diluar jadwal.

Previous articleAparat Keamanan Cegah Aksi Penjarahan Paska Gempa dan Tsunami di Sulteng
Next articleParpol Puji Rasa Kemanusiaan SBY soal Setop Kampanye karena Gempa Sulteng

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here