Jakarta, PONTAS.ID – Diplomasi ekonomi Indonesia ke Amerika Serikat (AS) membuahkan hasil menggembirakan. Pemerintah AS memberikan pengecualian terhadap 19 produk baja jenis carbon and alloy dan stainless steel (baja tahan karat) dari tarif impor baja sebesar 25 persen (US Global Tariff).
Keputusan ini dikeluarkan pada 2 Agustus 2018 setelah sebelumnya Indonesia juga memperoleh pengecualian untuk 161 permohonan produk baja carbon and alloy dengan total volume sebesar lebih dari 6.784Â ton dan aluminium sheet sebesar 1.680 ton.
Pengecualian berbasis produk oleh AS ini adalah hasil konkret pascapertemuan Menteri Perdagangan (Mendag) RI, Enggartiasto Lukita dengan Mendag AS, Wilbur Ross di Washington DC pada akhir 23–27 Juli 2018 lalu. Saat itu, Enggar memimpin delegasi Indonesia dalam kunjungan kerja ke AS.
Agenda kunjungan antara lain melakukan berbagai pendekatan kepada Pemerintah AS terkait eligibilitas Indonesia untuk program Generalized System of Preferences (GSP) yang ditinjau ulang dan mengupayakan pengecualian atas pengenaan tarif global AS terhadap produk baja dan aluminium Indonesia yang telah diterapkan AS sejak bulan Maret lalu.
“Selain meyakinkan Pemerintah AS, kami juga menggalang dukungan dari sektor bisnis AS, terutama dari para importir produk besi baja dan aluminium Indonesia. Strategi yang kami gunakan adalah meyakinkan importir AS bahwa Indonesia pantas untuk dikecualikan dari tarif global AS karena produk Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk di AS dan sudah masuk ke dalam rantai nilai global AS,” kata Enggar, Senin (3/9/2018).
Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan mengatakan bahwa pengecualian ini merupakan hasil konkret dari upaya Pemerintah Indonesia yang bersinergi bersama eksportir baja dan aluminium untuk memperoleh pengecualian atas pengenaan tarif impor oleh AS sebesar 25 persen untuk produk baja dan 10 persen produk aluminium.
“Masih terdapat 12 permohonan pengecualian produk baja Indonesia dengan kuantitas lebih dari 336.688 ton dan 276 permohonan pengecualian produk aluminium Indonesia dengan kuantitas lebih dari 367.351 ton yang belum mendapatkan putusan dari Pemerintah AS,” ujar Oke.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag, Pradnyawati menuturkan atas keberhasilan awal ini, Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi intensif dengan AS.
“Upaya pendekatan langsung kepada negara mitra dagang seperti AS ini sangat penting untuk dijaga momentumnya, terutama di tengah kondisi ‘perang dagang’ seperti ini,” ucap dia.
Pradnyawati menambahkan, Kemendag terus mengimbau eksportir baja dan aluminium Indonesia agar mendorong mitra mereka di AS guna memanfaatkan momentum pascakunjungan kerja Mendag Enggar ke AS dengan mengajukan pengecualian pada produk mereka.
Selain itu, Kemendag juga terus memantau dan mengingatkan AS mengenai permohonan pengecualian terhadap produk baja dan aluminium Indonesia lainnya yang sedang dalam proses.
Berdasarkan BPS, ekspor baja Indonesia ke AS pada Januari-Juni 2018 mencapai 139 juta dolar AS, meningkat 78 persen dari periode sama di tahun 2017. Sedangkan ekspor aluminium Indonesia ke AS pada Januari-Juni 2018 sebesar 147 juta dolar AS, atau naik 47 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017.
Untuk diketahui, pada 23 Maret 2018, Pemerintah AS menaikkan tarif impor produk baja dan aluminium, masing masing menjadi sebesar 25 persen dan 10 persen setelah sebelumnya menerapkan kebijakan tarif 0 persen (duty free).
Dasar kenaikan tarif tersebut adalah hasil penyelidikan Kementerian Perdagangan AS (US Department of Commerce) yang dilaksanakan atas mandat Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962, dimana ditemukan adanya ancaman terhadap keamanan nasional dari impor baja dan aluminium ke AS dari seluruh negara di seluruh dunia, kecuali Australia.
Sebelum melakukan pendekatan langsung di tingkat menteri, Pemerintah Indonesia telah terlebih dahulu melakukan upaya agar Indonesia dikecualikan dari kenaikan tarif. Upaya tersebut dilakukan oleh Kemendag melalui permintaan tertulis.
Editor: Risman Septian