Menpar: Hadapi Digitalisasi, Pariwisata Indonesia Punya 3 Pilihan

Jakarta, PONTAS.ID – Digitalisasi dalam aspek kehidupan termasuk di bidang pariwisata adalah sebuah keniscayaan dari perkembangan zaman. Digitalisasi (go digital) ditandai dengan munculnya pola sharing economy yang kini melanda semua bidang.

Pada bidang telekomunikasi didahului dengan munculnya internet dan smartphone, kemudian diikuti bidang transportasi (munculnya Grab, Uber, dan Gojek) dan industri pariwisata dengan munculnya online travel agency (OTA) seperti Traveloka dan AirBnB.

Demikian disampaikan oleh Menteri Pariwisata (Menpar), Arief Yahya dalam Seminar Nasional ‘Pariwisata Era Ekonomi Digital’ yang berlangsung di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Senin (30/7/2018).

“Dengan munculnya OTA lalu bagaimana sikap kita? Ada tiga pilihan baik bagi pelaku industri maupun pemerintah atau regulator yakni confront, compete, dan cooperate,” kata Arief dalam siaran pers Kemenpar yang diterima di Jakarta, Rabu (1/8/2018).

Seminar nasional yang diselenggarakan oleh Kemenpar bekerjasama dengan Ikatan Alumni Doktor Ilmu Manajemen (IKA-DIM) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini, dalam rangka melakukan identifikasi, analisis, dan penyusunan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mendukung sektor pariwisata Indonesia di era ekonomi digital.

Lebih lanjut Arief memaparkan, bahwa pilihan confront atau melawan digitalisasi dengan cara tetap melakukan metode regular dalam menjalankan bisnis dan tidak melakukan perubahan, merupakan pilihan yang sulit dilakukan di era digital sekarang ini.

Sejumlah negara lain seperti China, ungkap Arief, lebih memilih pada pilihan kedua yakni compete atau membuat tandingan dengan membuat aplikasi baru. Seperti membuat Baidu sebagai mesin mencari seperti Google.

“Sedangkan di Indonesia, misalnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memilih compete dengan membuat aplikasi Bookingina.com sebagai langkah compete terhadap serbuan OTA asing,” ujarnya.

Sementara untuk pilihan ketiga yakni cooperate, tutur Arief, banyak dilakukan perusahaan korporasi besar di industri pariwisata seperti perhotelan dan biro perjalanan dengan melakukan join atau kerjasama dengan perusahaan aplikasi digital atau OTA.

“Dalam melakukan kerjasama harus ada aturan agar menguntungkan semua pihak, termasuk pengaturan pajak bagi beroperasi OTA asing di Indonesia,” ucap dia.

Rekomendasi IKA-DIM

Dalam acara tersebut, IKA-DIM Unpad membuat tiga rekomendasi terkait go digital. Pertama bagi stakeholder, agar merumuskan regulasi yang fleksibel untuk pajak, payment systems dan hal lainnya yang berhubungan dengan OTA asing yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan pariwisata Indonesia.

Kedua bagi industri pariwisata, agar lebih memilih strategi cooperate dan compete, karena dengan go digital akan mendorong percepatan pertumbuhan sektor pariwisata Indonesia.

Ketiga, meningkatkan kualitas SDM melalui pelatihan penggunaan media digital dan pengembangan sistem Information Communication Technology (ICT)/Digital Media untuk mendorong value dan percepatan pertumbuhan pariwisata Indonesia.

Editor: Risman Septian

Previous articleKementan Cetak Sawah 8000 Hektar di Merauke
Next articleKetua DPRD Apresiasi Anies Soal Kali Item, Tapi…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here