Jokowi Diminta “Gentle” Soal UU MD3

Jakarta, PONTAS.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih belum menandatangani Undang-Undang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3) yang disahkan DPR pada 12 Februari 2018 lalu. Hal itu dilakukan karena dirinya mengaku mendengar banyak masukan dan pendapat tentang undang-undang tersebut.

Menanggapi hal itu, Anggota DPR Fraksi PKS Nasir Djamil meminta Presiden Joko Widodo gentle untuk menandatangani revisi UU MD3 yang telah disahkan pemerintah dan DPR .

Jika Presiden menolak, kata Nasir, sangat disayangkan karena terkesan mau cari aman.

“Ke depan kita butuh Presiden yang paham ketatanegaraan dan mengerti posisi DPR sebagai lembaga negara,” kata Nasir saat dihubungi, Jumat (23/2/2018).

“Dimana-mana Presiden harus berani memgambil alih tanggung jawab para pembantunya, bukan justru terkesan menyalahkan menteri terkait. Itu baru namanya gentleman,” tambahnya.

Nasir menyatakan, dalam pembahasaan RUU selalu ada yang mewakili Presiden dan itu dibuktikan dengan Amanat Presiden (Ampres), yang isinya menunjuk menteri terkait yang bertanggungjawab terhadap pembahasan dan pembentukan UU tersebut.

Jadi sangat jelas, terang Nasir, Presiden tidak bisa menghindar atau mengatakan tidak bertanggungjawab.

“Meskipun UU menyatakan bahwa jika dalam waktu tertentu Presiden tidak menekennya dan otomatis UU itu berlaku, sebaiknya itu dihindari,” tandasnya.

Keluarkan Perppu

Disisi lain, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Girindra Sandino menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk mencabut pasal-pasal di UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang bersifat kontra reformasi dan kontra demokratik.

“Setelah menandatangani UU MD3, Presiden bisa mencabut pasal-pasal tersebut,” kata Girindra dalam keterangan pers, Jumat (23/2/2018).

Menurut dia, jika permasalahan UU MD3 ini berlarut, dikhawatirkan akan menurunkan kewibawaan dan kepercayaan publik serta kelompok sipil pro demokrasi terhadap Presiden RI, juga menunjukkan betapa rapuhnya pemerintahan pusat, terlebih menjelang pemilu.

KIPP Indonesia berpendapat UU MD3 yang baru disahkan oleh DPR dapat mengekang dan membungkam suara kritis dari rakyat, khususnya pasal 122 huruf k.

“Keberadaan pasal ini akan membungkam suara kritis rakyat dengan kuasa premanisme berbaju Parlemen,” kata Girindra.

Pasal 122 huruf k berbunyi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

KIPP Indonesia menilai secara sadar revisi UU MD3, merupakan wujud dari pengekangan dengan perangkat pemusnah kebebasan bersuara yang menandakan bangsa telah masuk dalam genggaman penghancuran Pancasila.

KIPP berpandangan, pengakuan dan realisasi hak kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat merupakan salah satu ciri pokok demokrasi yang secara nasional telah dijamin dalam UUD 1945 dan sejumlah perundang-undangan antara lain UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU Hak Asasi Manusia dan UU tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Sementara itu, Partai Nasional Demokrat (NasDem) menyatakan kegentingan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU MD3 telah jelas. Jokowi sebenarnya memiliki alasan kuat untuk menerbitkan Perppu.

“Perppu harus punya alasan kegentingan yang memaksa. Apa yang memaksa di situ? Kalau mau dicari, ada potensi kegentingan yang memaksa,” kata Sekjen NasDem Johnny G Plate.

Ia pun menyebut beberapa pasal dalam UU MD3 yang kontroversial. Di antaranya adalah Pasal 73 dan 122, serta Pasal 180 A yang juga disebutnya berbahaya.

Pasal 73 mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, kemudian setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota Dewan serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut. Lalu Pasal 122 huruf k mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum kepada siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.

Sementara itu Pasal 180 A disebut Johnny soal Badan Anggaran (Banggar) wajib melaporkan hasil pembahasan Rancangan UU tentang APBN pada pimpinan DPR. Pasal UU MD3 lain yang menuai kontroversi adalah Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.

“Rakyat mau disandera oleh kepentingannya. Itu ada kegentingan yang memaksa. Lalu pasal 180A pada saat pembahasan APBN bisa bermasalah kalau Banggar nggak melaporkan ke pimpinan. Itu jadi dinormakan wajib,” ujar Wakil Ketua Fraksi NasDem itu.

“Ada beberapa yang bisa dilihat sebagai dasar kegentingan yag memaksa. Karena di situ rakyat bisa ditempatkan sebagai dalam posisi berbahaya. Kedua berpotensi membungkam hak-hak kemerdekaan berpendapat. Itu kan konstitusi,” imbuh Johnny.

Previous articleAjak Pulang Bareng, Farhan Lecehkan Perempuan di Apartemen
Next articleCium Upaya Pelemahan DPR, Fahri: Masyarakat Jangan Terhasut