UU MD3, Formappi: DPR Memang Anti Kritik

Jakarta, PONTAS.ID – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut DPR sejak dulu memang tidak pernah peduli terhadap kritik.

Hal ini disampaikan terkait revisi UU MD3 yang terkesan membuat DPR anti kritik dan kebal hukum.

“Dari dulu memang nggak ramah kritik. Bahkan nggak peduli terhadap kritik. Jadi, kalau bicara, DPR tidak mau, tapi mereka tidak tahu mana yang kritik dan yang bukan,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus, dalam diskusi Polemik bertajuk “Benarkah DPR, Gak Mau Dikritik? di Restoran Warung Daun, Cikini, Sabtu (17/2/2018).

Ia menilai revisi terhadap Pasal 122 huruf k dalam UU No 17/2014 itu makin meneguhkan ketidakpedulian DPR terhadap kritik masyarakat. Lucius juga menyebut revisi tersebut memperlihatkan rasa sakit hati anggota Dewan atas kritik yang disampaikan kepadanya.

“DPR memang menganggap kritik sesuatu yang mereka tidak pedulikan dan mau meresmikan sikap mereka yang nggak peduli itu. Ini makin memperlihatkan bahwa mereka benar-benar nggak peduli dan sakit hati terhadap kritik yang berulang-ulang,” sebutnya.

Selain itu, Lucius menyoroti proses pembahasan revisi UU MD3 oleh DPR sebelum disahkan pada Senin (12/2/2018). Menurutnya, DPR terlihat sengaja tak melibatkan publik dalam pembahasan pasal-pasal penting.

“Kami kritik itu soal prosesnya. Partisipasi publik dalam pembahasan UU MD3 ini sama sekali tidak terlihat. Kami melihat ada strategi licik dari DPR dalam pengesahan ini,” tutur Lucius.

Ia pun menuding DPR tak memiliki landasan akademik dalam merevisi pasal dalam UU MD3 itu, khususnya terhadap Pasal 122 huruf k, yang memberikan kewenangan pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memidanakan pihak yang dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR.

“Saya yakin tidak ada naskah akademik yang dibahas di DPR untuk membahas UU MD3. Saya pikir ini lewat wangsit yang menurut mereka baik untuk mereka,” tukasnya.

Terlalu Terburu-buru

Sementara itu, Sekjen PPP yang juga anggota Fraksi PPP di DPR Arsul Sani menilai, pengesahan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), terlalu terburu-buru.

Menurut dia, seharusnya ada sedikit waktu lagi untuk mengkaji ulang pasal-pasal yang banyak dikritik.

“Bagi Fraksi PPP seperti itu. Paling tidak disahkan setelah satu masa sidang lagi,” ujar Arsul dikesempatan yang sama.

Menurut Arsul, DPR seharusnya lebih banyak mendengarkan pendapat dari masyarakat sipil dan ahli hukum tata negara. Kemudian, membandingkan aturan-aturan yang dianggap krusial.

Anggota Komisi III DPR tersebut mengatakan, beberapa bunyi pasal sebenarnya masih memerlukan perbaikan.

Paling tidak, menurut Arsul, ada penjelasan dalam undang-undang agar tidak menimbulkan salah tafsir.

Salah satu contohnya, menurut Arsul, Pasal 73 UU MD3 di mana ditambahkan frase “wajib” bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang.

Bahkan, dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari.

Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.

“PPP tidak setuju kalau sudah dipanggil paksa lalu disandera. PPP mengingatkan, itu semua harus diatur detail dalam UU MD3, karena ini hukum acara, tidak bisa diatur lewat aturan lain di bawah undang-undang,” kata Arsul.

Previous articlePBB dan PKPI Tak Lolos Jadi Peserta Pemilu 2019
Next articleMendagri: Harusnya Pejabat Paham Area Rawan Korupsi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here