Jakarta, PONTAS.ID – Tembakau dan cengkeh adalah komoditas sering dianggap kurang seksi dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Namun, tembakau dan cengkeh diakui pemerintah sebagai komoditas strategis nasional dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014.
Tembakau dan cengkeh yang diserap dalam industri hasil tembakau (IHT) menjadi tumpuan hidup bagi 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja manufaktur hingga pekerja sektor kreatif.
Salah satunya adalah segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT). SKT merupakan segmen padat karya yang menjadi tumpuan ladang kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja. Segmen SKT dalam penyerapan tenaga kerjanya juga menerapkan inklusivitas pekerja.
“Pertama, sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga. Pekerja dengan karakteristik tekun, ulet dan rapi sangat dibutuhkan dalam proses produksi rokok SKT. Kedua, sektor SKT banyak ditemukan mempekerjakan pekerja yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Kebijakan yang inklusif ini sangat jarang ditemukan pada industri lain yang sama-sama bersifat padat karya,” ujar Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman Mudhara.
Budhyman menekankan, SKT adalah produk legal. Bahkan 90 persen produksi rokok yang beredar saat ini ditopang oleh SKT. Sayangnya, regulasi terkait pertembakauan saat ini belum mampu secara maksimal melindungi dan memberdayakan para ratusan ribu pekerja di segmen SKT.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari elemen ekosistem pertembakauan, SKTÂ perlu dilindungi dan diberdayakan agar semakin mampu menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian daerah serta nasional.
“Sangat penting memastikan bahwa dari sisi kebijakan, pemerintah pusat maupun daerah perlu mengupayakan untuk menjaga sektor padat karya ini demi kesejahteraan para tenaga kerja di dalamnya. Termasuk perlindungan melalui regulasi yang adil, berimbang, dan mendorong pemberdayaan serta daya saing SKT. Dengan demikian, eksistensi industri SKT dan pekerjanya dapat terus tumbuh dan berdaya saing,” tegas Budhyman.
Untuk diketahui, berdasarkan Proyeksi Ketenagakerjaan dan Sosial Dunia ILO dalam Tren 2023 (Tren WESO), pertumbuhan lapangan kerja global hanya akan sebesar 1% pada 2023, kurang dari setengah pertumbuhan pada 2022.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ketersediaan lapangan kerja juga merupakan isu yang pelik.
“Di sinilah semakin nyata peran penting SKT dalam serapan tenaga kerjanya yang signifikan. Para pekerja SKT didominasi oleh perempuan-perempuan yang mayoritas mengemban peran ganda sebagai tulang punggung keluarga. 97% pekerja SKT adalah para perempuan yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya, berhasil menyekolahkan anak-anaknya dan keberadaan pabrik SKT memberikan multiplier effect ekonomi di lingkungan masyarakat, ” papar Budhyman.
Produksi SKT memang memerlukan ketrampilan dan kerajinan serta kesabaran dalam proses pembuatannya dan syarat ini cocok untuk kaum perempuan. Kinerja yang lebih teliti, rapi, mudah diatur, serta cepat dalam produksi menjadi pertimbangan pabrikan SKT merekrut tenaga kerja perempuan.
“Tidak hanya memberdayakan pekerjanya, kehadiran industri SKT juga turut memberikan efek ganda bagi perekonomian lokal di sekitar area pabrik. Misalnya warung makanan dan minuman, toko kelontong, angkutan umum, dan sebagainya. SKT adalah sektor padat karya yang menumbuhkan perekonomian daerah dengan menjadi mata rantai yang saling bergantung. Oleh karena itu, terganggunya kehidupan SKT pasti akan berdampak pada sektor penunjang lainnya,” tambah Budhyman .
IHT Beri Kontribusi ke Negara
Sementara itu, Anggota DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo mengingatkan kepada pemerintah dan semua pihak, industri pertembakauan nasional ini, memiliki kontribusi terhadap negara yang cukup besar dari berbagai potensi.
Firman menuturkan, pertama adalah dari peningkatan kesejahteraan petani, sebagai produk hulunya petani tembakau bisa mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keluarganya dari pertanian industri tembakau itu sendiri.
“Memang kalau kita bicara tentang pertembakauan, tembakau adalah bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Di mana pertambakauan itu dibawa oleh VOC ke Indonesia, ditanam menjadi salah satu komoditi strategis, yang diekspor ke Eropa dan negara-negara lain menjadi kebutuhan utama untuk bahan baku cerutu dan rokok-rokok lainnya,” kata Firman.
Bahkan, sambung Firman, sekarang sudah berkembang, tembakau itu menjadi salah satu bahan baku untuk melakukan atau dipakai bahan baku untuk industri kimia seperti parfum dan juga untuk dibuat salah satu metodologi penyembuhan penyakit seperti yang dilakukan oleh Prof.Sutiman itu adalah penyakit cancer.
“Ini semua adalah fakta dan bukti adalah akademis dan kemudian dan diakui oleh para mereka yang telah disembuhkan dari penyembuhan-penyembuhan seperti ini,” ujar anggota Komisi IV DPR ini.
Selain itu, keberadaan IHT juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara. Sebab, cukai rokok itu setiap tahun mengalami peningkatan.
Tetapi tanpa disadari bahwa, dengan meningkatkan tarif cukai rokok ini ada efek negatif terhadap industri merokok menengah ke bawah di mana itu adalah betul-betul dikuasai oleh industri dalam negeri, tetapi dengan kebijakan kenaikan cukai rokok ini secara pelan dan pasti mematikan mereka.
“Ini tidak sesuai dengan spirit daripada imbauan Presiden, industri kecil dan menengah harus disupport, ini yang mestinya harus menjadi konsen selanjutnya,” terang Firman yang juga anggota Baleg DPR ini.
Ia melanjutkan, IHT ini pun juga menghasilkan tenaga kerja terampil didominasi kaum wanita dikenal wanita pelinting rokok. Karena dari karya tangan merekalah IHT sampai sekarang masih berkembang.
“Kalau ini semua tidak menjadi konsen kami, atau konsen daripada negara atau pemerintahan, maka ke depan akan menjadi persoalan serius, dari hulunya mulai petani kita akan kolep, tidak bisa menikmati kehidupan yang lebih baik, Kemudian dari sisi penerimaan negara akan terganggu,” tegas legislator dapil Jateng III meliputi Pati, Rembang dan Gerobogan ini.
Adapun beberapa daerah dengan keberadaan SKT yang memberikan multiplier effect ekonomi, di antaranya: Jawa Tengah (Kab. Kudus, Kabupaten Klaten, dan lainnya); Jawa Timur (Kota Surabaya, Kab. Kediri, Kab. Malang, Kabupaten Mojokerto, dan lainnya. Kemudian, DI Yogyakarta (Kab. Sleman, Kab. Bantul) dan Jawa Barat (Kab. Majalengka, Kab. Cirebon).
Penulis: Luki Herdian