Soal Usulan Pergantian Fadel di MPR, Dahlan Dipo: Margarito Salah Kaprah!

Margarito Kamis
Margarito Kamis

Jakarta, PONTAS.ID – Proses usulan pergantian Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD, makin pelik. Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, keputusan DPD RI menarik Fadel Muhammad dari posisi Wakil Ketua MPR unsur DPD RI sudah sesuai prosedur.

Menaggapi hal itu, Koordinator Tim Lawyer Fadel Muhammad, Dahlan Pido mengatakan, Margarito tidak mengetahui substansi dan pokok masalah. Karena itu, Dahlan menilai bahwa pengadilan lah sarana untuk menguji dalil mana yang lebih sah dan bisa diterima oleh nalar yang sehat.

“Statemen Margarito salah kaprah. Margarito, kata Dahlan, dinilai tidak menguasai substansi pokok masalah. Karena itu, Dahlan menilai bahwa pengadilan merupakan sarana untuk menguji (16/9/2022).

Dahlan mengatakan, bahwa SK Nomor 2/DPD/RI/1/2022-2023 tentang usulan penggantian pimpinan MPR RI adalah proses dan tindakan yang salah. Usulan pergantian itu merupakan perbuatan melawan hukum dan inkonstitusional karena melalui penyelundupan agenda yang sebelumnya tidak ada.

Putusan penggantian, kata Dahlan, harus juga disahkan dan ditandatangani oleh semua pimpinan DPD. Jika dua pimpinan DPD tidak ikut menandatangani atau menarik diri, maka putusan pergantian Fadel itu jelas batal demi hukum alias tidak sah.

‘’Ini yang tidak dipahami Pak Margarito. Kok bicara prosedur, tapi aturan perundagannya dilanggar nggak? Dua pimpinan DPD sudah menarik diri, berarti itu batal demi hukum,’’ kata Dahlan.

Yang perlu dipahami juga, kata Dahlan, pimpinan DPD RI itu kolektif kolegial. Itu berlaku tidak hanya pada tataran tugas, tapi juga pada fungsinya. Terkait pergantian Fadel, pimpinan DPD ternyata tidak satu suara.

‘’Yang seperti ini, saya yakin Pak Margarito sangat paham lah. Jadi, sekali lagi pimpinan DPD itu kolektif dan kolegial,’’ kata Dahlan.

Dahlan lalu menguraikan, bahwa dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada 18 Agustus 2022 telah terjadi Gerakan Politik yang Inkonstitusional dari sebagian pimpinan dan anggota DPD mengajukan mosi tidak percaya.

Mereka mengupayakan penarikan dan mengganti Fadel dari posisi Wakil Ketua MPR dari unsur DPD yang sah. Perlu disampaikan bahwa mekanisme atau instrumen mosi tidak percaya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial. ‘’Yang seperti ini masak harus dipahamkan,” kata Dahlan.

Instrumen mosi tidak percaya adalah satu mekanisme ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana kekuasaan eksekutif bersumber dari parlemen. Akan tetapi, kata Dahlan, di Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem pemerintahan presidensial, sehingga yang menjadi hukum tertinggi adalah konstitusi (supreme of constitution) dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai regulasi pelaksana, dalam hal perkara a quo adalah UU MD3, Tatib MPR, dan Tatib DPD.

Penarikan itu dalam Tatib DPD yang mengatur usul penggantinya setelah lebih dulu ada permintaan dari Pimpinan MPR, dan itu diatur dalam pasal 29 dan 34-35 UU Tatib MPR. ‘’Jadi, boleh-boleh saja berpendapat, tapi landasan hukumnya harus jelas,’’ beber Dahlan.

Pasal 29 ayat (1) huruf (e) Tatib MPR yang menjadi dasar hukum usul penggantian, kata Dahlan, harus diartikan karena ada proses permintaan dari Pimpinan MPR kepada Pimpinan DPD (terlebih dahulu) untuk mengisi jabatan yang kosong.

‘’Jadi, gagasan pengisian itu harus lahir dari MPR, bukan dari DPD, sesuai Tatib MPR,’’ pungkas Dahlan.

Penulis: Luki Herdian

Editor: pahala Simanjuntak

 

Previous articleDewan Pakar PA GMNI Usulkan Utusan Golongan dan Utusan Daerah Kembali ke MPR
Next articleMPR Sarankan Jokowi Tegas Tolak Isu Presiden sebagai Cawapres

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here