Jakarta, PONTAS.ID – Penandatanganan Sales Purchase Agreement(SPA) pada 6 Juli 2021 lalu antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan Chevron Standard Limited (CSL) menjadi bahan olok-olokan berbagai pihak.
Pasalnya, SPA yang diteken Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Sarir dengan Regional Director Chevron Standard Limited (CSL), Jennifer Ferratt untuk pembangkit listrik NDC (North Duri Cogeneration) berkapasitas 300 MW selain dinilai mengabaikan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan, juga dianggap sebagai pemberian hadiah oleh PLN kepada perusahaan asing.
Pembangkit listrik NDC merupakan milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang kepemilikan sahamnya dikuasai oleh CSL dan PT Nusagalih Nusantara.
“Teman saya bahkan mengatakan penandatanganan SPA itu acara terkonyol dan menjengkelkan, bahkan memalukan di era Pemerintahan Presiden Jokowi yang terkenal hanya berfikir menegakkan supremasi negara kita terhadap perusahaan asing yang selama berpuluh tahun telah menikmati kekayaan negara kita secara tidak fair bahkan serakah,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, melalui keterangan tertulisnya yang diterima PONTAS.id, Rabu (21/7/2021).
Kedongkolan temannya itu, lanjut Yusri sangat dapat dimaklumi, sebab jika semua pihak mau dengan serius menindak lanjuti temuan BPK RI tahun 2006, seharusnya pembangkit NDC 300 MW itu akan menjadi barang milik negara dan negara tidak dirugikan setidak tidaknya sebesar USD 210 juta dan berpotensi dirugikan USD 1,233 miliar hingga 8 Agustus 2021.
“Jadi tidak perlu ada SPA, tidak perlu keluar duit yang konon seharga USD 45 juta belum lagi untuk bayar konsultan. Tentunya, CSL sebagai pemegang saham 95% dan PT Nusagalih Nusantara 5% pemegang saham PT MCTN sambil tertawa menyaksikan adegan penandatanganan SPA itu,” kata Yusri.
Melawan Hukum
Aneh bin ajaib, lanjut Yusri, pejabat-pejabat yang berwenang bahkan harusnya berkewajiban menindak lanjuti temuan BPK itu malah telah melakukan pembiaran. Menurutnya, malah ada yang justru mengukuhkan perbuatan melawan hukum yang sudah terjadi sejak Energy Service Agreement (ESA) itu dibuat dengan melakukan amandemen.
“Bukan membatalkan ESA yang sejak semula batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku pada saat itu dan saat selanjutnya,” tegasnya.
Parahnya lagi, acara penandatanganan SPA itu dihadiri juga oleh Menteri ESDM, Wakil Menteri BUMN I, Kepala SKK Migas dan Dirut PLN beserta jajaran nya dari seluruh tanah air.
“Ironis! Jika momen penandatanganan ESA itu dipersepsikan sebagai momen PLN menjadi pahlawan yang bisa menyelesaikan polemik soal pembangkit listrik NDC 300 MW yang memang sangat diperlukan sebagai tulang punggung produksi minyak blok Rokan yang akan dioperasikan oleh PHR ( Pertamina Hulu Rokan) mulai 9 Agustus 2021,” bebernya.
“PLN lalu dipandang sebagai pihak pemenang yang telah berhasil menaklukan MCTN yang selama ini bersikeras akan menjual pembangkit listrik tersebut melalui mekanisme tender lewat lembaga keuangan JP Morgan dengan nilai USD 300 juta,” sindirnya.
Namun, ketika CERI bersama pihak lain pada acara daring menanyakan apakah PLN didalam SPA telah juga dicantumkan siapa yang bertanggung jawab atas semua persoalan persoalan hukum yang telah terjadi maupun yang akan terjadi akibat kontrak antara MCTN dengan CPI, PLN kata Yusri tidak menjawab.nya.
Belakangan ada pula keterangan dari direksi PLN Bob Syahril bahwa PLN tidak bisa membuka nilai akusisi karena terikat dengan NDA ( Non Disclosure Agreement) dengan pihak MCTN.
“Lho kok nilai akuisisi yang bersumber dari keuangan negara gak boleh diketahui oleh publik setidaknya komisi VI dan VII DPR selaku mitra pengawas?,” tanya Yusri heran.
Namun, Bob kata Yusri ketika itu mengatakan, PLN telah menggunakan 4 konsultan dalam mengkaji rencana pembelian ini, termasuk ada konsultan hukumnya. Padahal, Bob pernah sesumbar di media bahwa PLN hanya sanggup menawar USD 30 juta dalam tender tersebut.
Namun, belakangan terdengar rumor bahwa PLN akhirnya deal dengan MCTN diharga USD 45 juta, di luar PLN harus membayar honor 4 konsultan nya.
“Jika semua informasi diatas itu benar, tentu terkesan konyol kebijakan PLN tersebut mengingat ESA yang berdasar Temuan BPK 2006 sangat bertentangan dengan hukum itu. Lalu apa peran atau saran para konsultan termasuk konsultan hukum yang digunakan PLN dalam proses ‘negosiasi’ soal SPA itu,” tegasnya lebih lanjut.
MCTN Untung Besar
Yusri pun memaparkan Keputusan Menteri ESDM, penetapan tarif dasar listrik ditentukan berdasarkan komponen A, B, C, D dan E, yaitu:
- Komponen A: merupakan komponen pengembalian investasi yang angkanya dihitung berdasarkan Capex pembangkit listrik tersebut;
- Komponen B: Biaya Operasi dan perawatan yang sifatnya tetap;
- Komponen C: Biaya bahan energi yang digunakan oleh pembangkit berdasarkan KWH (kilowatt hour) listrik yang diproduksi;
- Komponen D: Biaya Operasi & perawatan yang sifatnya variable sesuai jumlah KWH listrik yang diproduksi; dan
- Komponen E: biaya jaringan transmisi yang dihitung berdasarkan KM jaraknya.
Di dalam ESA tarif yang dibayar oleh CPI ternyata tanpa komponen C, karena dalam kontrak CPI – MCTN gas untuk pembangkit disupply oleh CPI.
“Jadi, tarif ESA yg dibayarkan CPI ke MCTN selama ini mengandung komponen A (pengembalian investasi) di dalamnya. Dengan demikian, jika kontrak berlangsung dari thn 2000 s/d 2021, berarti sudah 21 tahun, pastilah MCTN sudah untung besar,” beber Yusri.
Sebagai pembanding, Yusri menyebut kontrak IPP (Independent Power Producer/ listrik swasta) dengan PLN saja, setelah 20 tahun pembangkitnya diserahkan ke PLN dan dicatat sebagai asset PLN.
Dengan demikian, jika biaya berdasarkan tarif ESA itu (jikapun dianggap sah) selama 21 tahun menjadi bagian dari cost recovery yang dibayarkan negara setiap tahun nya sekitar USD 80 juta, maka seharusnya pembangkit NDC 300 MW itu otomatis harus menjadi milik negara.
“Karena nilai atau harganya telah terbayarkan/terkompensir dalam cost recovery.
Harap diketahui, biaya listrik yang dibayar oleh CPI kepada MCTN per KWH berkisar antara 7 sen sampai 11,85 sen, sudah termasuk biaya gas,” lanjutnya.
Dia menilai, wajar timbul pertanyaan mengapa PLN mau mengeluarkan uang untuk membelinya padahal harga/nilai pembangkit listrik NDC itu telah terbayar/terkompensir dalam cost recovery yang notabene ditanggung oleh negara.
Rawan Gugatan
Semulanya, MCTN beranggapan tak perlu harus izin KESDM & SKK Migas untuk melakukan tender pembangkit listrik tersebut, kacaunya lagi pihak SKK Migas mengamini perbuatan MCTN, tidak melarang, padahal SKK Migas dengan kewenangan yang luar biasa dari negara untuk mengendalikan seluruh KKKS, bisa mencegah sikap kepala batu MCTN itu.
Barulah kemudian pejabat Kementerian ESDM dan SKK Migas tersentak sadar dari tidurnya, yakni setelah Direktur Piutang Negara dari Ditjen Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Lukman Efendi menyurati Kementerian ESDM, SKK Migas dan CPI agar berhati hati dalam mengambil keputusan pengalihan aset negara di Blok Rokan, sesuai Permenkeu Nomor: 140/PMK.06/2020.
DJKN dalam suratnya menegaskan, bahwa di bawah pembangkit listrik itu merupakan tanah milik negara oleh karenanya setiap perbuatan hukum disana harus seizin Menteri ESDM sebagai perwakilan negara.
“Berkat pesan Lukman itulah, KESDM dan SKK Migas lalu ‘melunakkan’ MCTN untuk meninggalkan proses tender di JP Morgan agar mau bernegosiasi dengan PLN,” paparnya.
Tentunya, pengalihan proses tender ke negosiasi itu bisa membuka peluang digugat oleh kompetitor PLN jika telah dirugikan dalam proses tender yang terlanjur sudah dijalankan tetapi kemudian diubah menjadi negosiasi ini.
Temuan BPK 2006
Sebagai informasi, kelahiran pembangkit MCTN menurut LHP BPK 2006 selain bertentangan dengan hukum, juga telah merugikan negara selama 20 tahun.
Di dalam LHP BPK RI tahun 2006 itu jelas dikatakan bahwa ESA (Energy Service Agreement) antara CPI dgn PT MCTN pada 1 Oktober 1998 terkait pembangkit NDC Cogen 300 MW adalah cacat hukum.
Meskipun sebelum, sudah ada persetujuan dari Pertamina BPPKA pada 27 Maret 1997 kepada PT CPI, tetapi dalam pelaksanaan melanggar peraturan yang ada.
“Sayangnya, temuan LHP BPK RI tahun 2006 itu tidak ditindak lanjuti oleh kepala BP Migas dan semua penegak hukum saat itu hingga saat BP Migas berubah menjadi SKK Migas setelah putusan Makamah Konstitusi pada13 November 2012, dan juga tidak ditindak lanjuti oleh SKK Migas,” ungkapnya.
Celakanya lagi, menurut informasi dari SKK Migas, bahwa temuan BPK itu telah dihapus oleh pejabat BPK pada tahun 2014, dengan alasan pertimbangan demi kepentingan kepastian operasi dan produksi.
“Akan tetapi, ketika kami mintakan konfirmasi kepada Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna pada 26 April 2021 melalui surat elektronik, apakah informasi dari pejabat SKK Migas itu benar?, jika benar apa landasan hukumnya? Karena fakta tidak bisa dihapus oleh lembaga apapun dinegeri ini, kecuali diproses secara hukum ke pengadilan untuk kepastiannya, Ketua BPK tidak menjawab apapun, meskipun WA kami sudah dibaca dengan tanda tercontreng dua warna biru,” jelasnya.
Temuan BPK tahun 2006 itu sangat mengagumkan dan patut diapresisasi oleh semua pihak yang menyebutkan proses pembuatan ESA itu sudah melanggar Kepres nomor 16 tahun 1994 dan Buku Pedoman Tata Kerja BP Migas nomor 077 Tahun 2000 Bab II Butir A1, yakni harus dengan mekanisme tender.
“Bukan dengan penunjukan langsung kepada MCTN yang terafiliasi dengan PT CPI sendiri, sehingga terjadi related party transaction atau praktek transfer pricing,” beber Yusri.
Krusialnya, sampai akhir pemeriksaan, 2 Maret 2006, Tim BPK belum mendapat hasil analisa atau perhitungan yang mendasari keputusan PT CPI untuk tindak membangun sendiri pembangkitnya, tetapi melalui PT MCTN.
Sikap Penegak Hukum
Dari temuan temuan yang ada terutama oleh BPK itu, jelas dan terang benderang bahwa ESA antara PT CPI dengan MCTN sarat perbuatan melawan hukum dan ada kerugian negara menurut LHP BPK RI tahun 2006.
Sehingga kata Yusri sangat mengindikasikan adanya kemungkinan tindak pidana korupsi baik bagi pihak yang membuat ESA maupun yang melanjutkan isinya.
Tindak pidana korupsi bukan delik aduan, sehingga tanpa dilaporkan pun, seharusnya penegak hukum berlomba lomba menelisiknya sebegitu adanya LHP BPK 2006 itu, “Pertanyaan penutup adalah, mengapa penegak hukum diam saja ?,” pungkasnya.
Komitmen PLN
Sebagai informasi, pada 6 Juli 2021, PT PLN (Persero) resmi menandatangani sales and purchase agreement (SPA) atau perjanjian jual beli saham, sehubungan dengan akuisisi atas 100 persen saham PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang dimiliki oleh Chevron Standard Limited.
Penandatanganan SPA dilakukan oleh Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril dan Regional Director Chevron Standard Limited, Jennifer Ferratt secara daring.
Kesepakatan ini juga disaksikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif, Wakil Menteri I BUMN Pahala Nugraha Mansury, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto, Komisaris Utama PLN Amien Sunaryadi, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini serta manajemen Chevron Standard Limited sebagai pemilik saham mayoritas MCTN.
‘Akuisisi saham MCTN merupakan pembuktian atas komitmen PLN dalam menjaga kesinambungan suplai listrik Blok Rokan baik di saat masa peralihan ataupun jangka panjang. Apalagi Blok Rokan merupakan tulang punggung produksi minyak nasional,”k ata Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, dalam siaran persnya yang dikutip PONTAS.id, Rabu (21/7/2021).
Penulis: Pahala Simanjuntak
Editor: Rahmat Mauliady