Pembangunan Kawasan Wisata Komodo Harus Berbasis Konservasi

Foto: Shutterstock

Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi ,menegaskan bahwa pariwisata di Taman Nasional (TN) Komodo adalah wisata berbasis konservasi, sehingga ekosistem alam, khususnya habitat komodo harus tetap terjaga dan masyarakat setempat turut mendapatkan manfaat dari aktivitas pariwisatanya.

Diketahui, pemerintah menargetkan penataan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo, di Provinsi Nusa Tenggara Timur selesai pada Desember tahun ini.

“Ekonomi harus tumbuh, pariwisata harus berkembang, dan rakyat harus sejahtera, tapi ekosistem harus terpelihara. Penyelamatan komodo harus di atas segalanya, karena kita mendapatkan berkahnya dari Komodo,” kata Dedi, saat memimpin pertemuan Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI dengan Bupati Manggarai Barat, perwakilan pemangku kepentingan TN Komodo, dan jajaran mitra kerja di Labuan Bajo, NTT, dikutip Selasa (24/11/2020).

Selain menggelar pertemuan, Tim Kunspek Komisi IV DPR RI juga meninjau pembangunan sarana prasarana wisata alam Loh Buaya di Pulau Rinca, dilanjutkan kunjungan ke Pulau Komodo untuk berdialog dengan warga masyarakat.

“Kami ingin mendapat gambaran jelas terkait pembangunan sarpras wisata alam di Pulau Rinca,” kata Dedi di sela-sela peninjauan.

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola sistem zonasi. Di mana zona pemanfaatan wisata daratan dan bahari dikhususkan untuk pengembangan pariwisata. Pembangunan di Loh Buaya dan Loh Liang berada di zona pemanfaatan, yang artinya pembangunan diperbolehkan asal sesuai dengan ketentuan. Ketentuan zonasi ini pun mendapat perhatian dari Anggota Komisi IV DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema.

Politisi politisi PDI-Perjuangan yang akrab disapa Ansy ini menilai, zonasi ini seharusnya ditentukan berdasarkan kajian akademis, dasar ilmiah, hingga kajian konseptual. Karena menurutnya penentuan zonasi itu kemudian tidak bisa digeser-geser sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama investor. Belum ada jaminan zonasi seperti ini tidak akan berubah di masa yang akan datang.

“Saya ingin memberikan catatan kritis bahwa data yang dibangun dengan basis investasi yang semata-mata akomodasi capital keuntungan fantastis akan rentan menggeser zonasi-zonasi ini. Karena itu saya mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk bisa konsisten dan berpegang teguh pada zonasi yang sudah ada. Jangan sampai nanti zonasi pemanfaatan membuka keran seluas-luasnya buat investasi,” tegas Ansy.

Di sisi lain, dirinya juga mengkhawatirkan habitat atau ruang hidup Komodo dan komunitas semakin menyempit akibat adanya pembangunan wisata ini. Pasalnya ia melihat sejumlah pantai di Labuan Bajo yang sudah bukan ruang publik, karena semuanya sudah diprivatisasi oleh korporasi. Sehingga akses masyarakat untuk sampai ke pantai atau laut menjadi terbatas.

“Jangan sampai dalam jangka panjang pulau ini mengalami hal yang sama. Karena itu pembangunan Jurassic Park di Loh Buaya di Pulau Rinca ini menurut saya harus betul-betul dikaji. Identitas Taman Nasional Komodo sebagai destinasi wisata yang berbasiskan alam, jadi orang tidak bisa membedakan mana Taman Nasional Komodo yang berbasis alam dan mana yang sekedar sebagai Kebun Binatang. Ini yang harus dipikirkan,” pesan Ansy.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) dan Ekosistem Kementeriam Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, menjelaskan bahwa pembangunan sarpras di KSPN Labuan Bajo sudah sesuai ekosistem jalan (elevated deck) yang akan dibangun dari dermaga ke pusat informasi panjangnya sekitar 350 meteri, lebar 4 meter dan tingginya 2 meter dengan material struktur beton dan lantai serta hand railing dari kayu.

Desain elevated deck setinggi 2 meter itu supaya satwa di Loh Buaya seperti komodo, kerbau, rusa dan babi hutan bisa melintas tanpa hambatan serta untuk mengadaptasi kondisi pasang surut di lokasi.

“Pembangunan elevated deck dan penataan sarpras termasuk information center secara terpadu di zona pemanfaatan di Rinca nantinya juga akan lebih memudahkan pergerakan pengunjung dari dermaga. Bahkan pengunjung difabel bisa pakai kursi roda lewat elevated deck menuju pusat informasi,” jelas Wiratno.

Penulis: Riana

Editor: Luki Herdian

Previous articleRI dan Denmark Perkuat Kerja Sama Pengembangan EBT
Next articleDukung Ketahanan Pangan, PGN Salurkan Gas ke Pupuk Kujang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here