Usai Pilpres, Tak Ada Lagi Bagi-bagi Kekuasaan

Abdul Kadir Karding, Muhammad Misbahkkun dan Said Salahuddin dalam diskusi Dialetika Demokrasi

Jakarta, PONTAS.ID – Anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding menyatakan, sebaiknya tidak ada lagi pembagian kekuasaan setelah pemilihan presiden (pilpres) usai. Bagi-bagi kekuasaan ini sudah harus jelas sebelum pilpres diadakan.

“Artinya, siapa mendukung calon A, kalau dia meminang, maka dia berkuasa, dan kalau dia kalah, dia tidak berkuasa, harusnya menjadi oposisi,” kata Karding dalam Dialektika Demokrasi betema “Menteri Muda, Rekonsiliasi atau Balas Budi?” di Media Center, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (1/8/2019).

Selain Abdul Kadir Karding, hadir juga Anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Muhammad Misbahkun dan juga Pengamat Politik Said Salahuddin.

Karding melanjutkan, sistem dalam ketatanegaraan saat ini tidak jelas mengatur permasalahan ini. Tidak ada aturan terkait posisi opoisisi maupun posisi berkoalisi. Dia menyayangkan hal tersebut.

Kemudian kata Karding, tradisi politik Indonesia sejak era Orde Baru dan paska lengsernya Presiden Soeharto, tidak pernah mengenal tradisi beroposisi dan tradisi berkoalisi.

“Memang ada, dalam arti fungsional,” ujar Karding seraya juga menjelaskan, di era Presiden SBY dulu, partai politik yang tidak mendukung masuk lagi ke pemerintahan SBY.

Lalu, lanjut Karding, era Presiden Jokowi, yang tidak mendukung masuk juga ke pemerintahan Jokowi.

“Jadi, artinya memang belum ada tradisi misalnya, sejak awal fungsional oposisi, oposisi terus,” jelas anggota DPR RI ini.

Sebagai bangsa yang besar lanjut Karding, Indonesia masih terus berproses, sehingga dibutuhkan kearifan-kearifan dalam konteks akomodasi politik tertentu.

“Saya melihat ke depan bahwa mungkin koalisi yang dimaksud itu adalah koalisi yang terbatas, tidak mungkin misalnya ada partai politik ambil di menteri, ngambil juga pimpinan di MPR dan ngambil pula di DPR,” kata Karding memperkirakan.

Sebagai contoh, Partai Gerindra. Di kabinet tidak masuk, tetapi mungkin partai ini masuk pimpinan di MPR dan DPR.

“Tetapi, kalau misalnya pun terjadi di kabinet juga Iya, ya memang pernah terjadi dan tidak ada masalah juga,” ucap bekas pimpinan Tim Kampanye Nasional Jokowi – Maruf Amin ini.

Hanya saja diingatkan, kalau kita mau bangun sistem yang mulai mendorong sejak awal fungsi-fungsi oposisi dan fungsi-fungsi koalisi, maka sebenarnya sejak awal kita sudah harus membuat kontrak.

“Misalnya besok ada 2 calon, ya sudah kalau menang anda berpuasa, kalau kami kalah, kami beroposisi, itu yang betul, jadi jangan jenis kelamin nggak jelas begini, transgender semua terus-menerus misalnya, jadi repot,” ungkapnya.

Ditempat yang sama, pengamat politik Said Salahuddin yang mengatakan istilah menteri muda tidak merujuk pada usia seseorang.

Kata Said, jika dilihat dari segi hukum tata negara yakni pertama, menteri muda merujuk pada nama jabatan dan pemegang jabatan.

“Nah untuk kementerian-kementerian yang terkait dengan anak muda, harus lihat rekam jejak yang jelas, sejauh mana mereka punya keberpihakan tentang nasionalisme. Jadi, bukan anak muda yang berhasil di dunia bisnis lantas dijadikan menteri, menurut saya berlebihan,” tandas Said Salahuddin.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Hendrik JS

Previous articlePolsek Sei Kepayang Ringkus 2 Tersangka Narkoba
Next articleBakamla Turunkan 2 Kapal Kawal Guinness World Records