Pemerintah Harus Pertimbangkan Dampak Hulu-Hilir RPMK Industri Hasil Tembakau

Jakarta, PONTAS.ID – Rencana Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek hingga soal nasib Industri Hasil Tembakau (IHT) melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai kritik dari sejumlah anggota DPR RI.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, Industri Hasil Tembakau (IHT) sudah menjadi identitas nasional. Terlebih, di tengah tidak adanya sektor industri baru yang tumbuh.

Padahal, sambung Willy, saat ini banyak negara justru sedang membentuk national identity-nya, baik melalui suaka hingga konservasi.

“Jangan seperti kera menangkap belalang, apa yang ada di tangan, karena ingin mengejar yang baru hilang. Kalau kita bicara tembakau ini soal hulu ke hilir, merupakan paket yang komplet, ada petani, ada retail, ada industri, ada ekosistem,” kata Willy, Kamis (19/9/2024).

Willy berpandangan, era ini merupakan zaman partisipatory dan kolaboratif. Di mana seharusnya ketika membuat suatu kebijakan harus terbuka, dilakukan secara bersama-sama, dan harus menghasilkan triple win solution.

“Tidak hanya satu pihak yang dimenangkan, tidak hanya dua belah pihak yang dimenangkan, tetapi pihak pertama, kedua dan pihak ketiga secara strategis lingkungan yang harus dimenangkan juga, di konteks inilah triple win solution yang kita butuhkan bersama-sama,” ucap Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI ini.

Dalam kesempatan yang sama, Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem mengingatkan Menteri Kesehatan untuk mempertimbangkan dampak sosial dari RPMK tersebut. Terlebih, di tengah kondisi ekonomi nasional saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.

“Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK,” ucapnya.

Yahya Zaini, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar menegaskan, persoalan IHT tidak bicara mengenai industri besar, tetapi mengenai petani tembakau, buruh pabrik, tukang asongan, hingga pedang kaki lima yang mengantungkan pendapatannya di IHT.

“Jadi, yang kami perhatikan mereka yang kecil menengah ke bawah yang jumlahnya dari segi pekerjaan 5-6 juta orang,” tegasnya.

Yahya berpandangan ada beberapa opsi yang harus dilakukan untuk meminimalisir sikap pemerintah terhadap IHT sebelum Permenkes diterbitkan.

Dia menekankan pentingnya membangun opini publik, supaya terjadi perimbangan opini di masyarakat terhadap IHT baik dari sisi ekonomi, perkebunan, hingga cukainya.

“Saya menolak RPMK, jika isinya akan mematikan industri hasil tembakau dan menyengsarakan nasib jutaan pekerja dan petani tembakau yang hidupnya semakin berat,” tambah Yahya.

Senada, Abidin Fikri Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP mengaku kaget dengan langkah Kementerian Kesehatan terhadap RPMK a quo.

Pasalnya, kata dia, sewaktu pembahasan RUU Kesehatan, Komisi IX DPR RI memberikan beberapa catatan, di antaranya agar pemerintah berkomunikasi dengan Komisi IX DPR saat membuat aturan turunannya.

“Catatan menarik saat pembahasan (RUU Kesehatan mengenai tembakau) PP nya harus sedapat mungkin dikomunikasikan dengan teman-teman Komisi IX, karena spirit UU itulah yang kita perdebatkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan,” sebut Abidin.

“Jangan sampai rumusan di PP-nya membuat kegaduhan baru. Karena bagi kami bukan soal perokok dan tidak merokok tetapi ekosistem ekonomi dari Indonesia,” serunya.

Dalam forum yang sama, Sudarto AS Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI menilai, regulasi pengendalian IHT menjadi tekanan luar biasa yang dapat membahayakan sejumlah pihak dari hulu hingga hilir.

“Regulasi pengendalian ini sangat membahayakan berbagai macam pihak-pihak yang terkait dari hulu sampai hilir, bukan hanya buruh pabrik tapi para petani akan berdampak. Sebab, sejak 2015 anggota kami sudah berkurang atau terkena PHK hingga 67 ribu lebih,” paparnya.

Sementara itu, Fabianus Bernadi Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan RPMK atau PP Nomor 28 Tahun 2024 atas UU 17 Tahun 2023.

Padahal, diakuinya, bahkan sejak tahun 2012, aturan iklan luar ruang terkait produk tembakau juga telah memberikan dampak bagi para pelaku industri media luar griya.

“Media luar griya, secara kualitatif itu memberikan efek yang besar. Karena produk tembakau yang sudah memberikan kontribusi terhadap reklame luar griya itu sudah sejak lama atau 1 dekade tepatnya tahun 2012 dengan dikeluarkannya PP 109/2012 itu sudah berdampak sangat besar, data kami sekitar 50 persen pendapatan (turun) dan banyak yang tutup,” keluhnya.

Sekarang, PP 28/2024 juga mengeluarkan larangan zonasi iklan luar ruang 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Pihaknya mengaku tidak dilibatkan dalam proses perumusan, padahal menjadi salah satu pihak yang terdampak langsung.

“Tetapi, di RPP itu, kami selaku pemangku kepentingan tidak pernah diajak sama sekali diajak (bicara),” pungkasnya.

Previous articleBamsoet Jelaskan Politik Bebas Aktif Indonesia
Next articleSuarakan Aspirasi Lewat Partisipasi Sehat, Petani Minta Kemenkes Akomodir Masukan Elemen Pertembakauan