Jakrta, PONTAS.ID – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menuturkan pihaknya akan merujuk kepada ketentuan yang mendekati aturan Urundang-undangan(UU) terkait dengan polemik pencalonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Arief Mengatakan, saat ini rumusan tersebut masih dilakukan dan nantinya keputusan tersebut akan diselesaikan sebelum berakhirnya proses validasi surat suara.
Meski demikian, Menurut arief, tak menutup kemungkinan memasukkan kembali OSO dalam daftar calon tetap (DCT) dengan beberapa syarat. Terkait syarat tersebut Arief tidak menjelaskan secara detil namun dirinya menuturkan syarat tersebut tidak jauh berbeda sama dengan isi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
“Kan di situ (putusan PTUN) perintahnya masukkan (OSO ke DCT). Ya, KPU jalankan, tapi ada syaratnya sebagaimana diputuskan dalam putusan MK. Kita melaksanakan konstitusi,” ujarnya saat ditemui di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (4/12/2018).
Meski demikian, pihak masih belum bisa mempublish keputusan yang diambil oleh pihaknya dengan alasan masih merumusan terkait teknis serta dasar hukum terkait hal itu.
Ditempat yang sama Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menuturkan pihaknya telah mempertimbangkan berbagai risiko yang nantinya akan muncul atas adanya keputusan yang nantinya akan dikeluarkan oleh KPU. Meski demikian, Pramono menuturkan bahwa secara prinsip keputusan yang nantinya akan diambil oleh pihaknya adalah yang paling mendekati konstitusi.
“Ya semua pilihan pasti ada risikonya, apapun yang diambil KPU pilihan a dan b ada riskionya, prinsipnya kita yang diambil yang paling mendekati demokrasi konstitusional,” ungkapnya.
Sebelumnya, MA telah mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang. Uji materi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD setelah adanya putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Dalam putusannya MA Menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lalu menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut terhadap Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah mengikuti Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2017.
Aturan larangan anggota DPD merangkap jabatan sebagai pengurus parpol tercantum dalam putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin (23/7).
Dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat adanya proses pendaftaran calon anggota DPD yang telah dimulai dan terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan tersebut, maka KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri.
Dengan demikian untuk selanjutnya anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan dalam amar putusannya MK memutuskan Frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.
Adanya putusan tersebutlah yang melatarbelakangi adanya aturan dalam PKPU Nomor 26 Tahun 2018 yang memuat larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sementara Majelis Hakim PTUN juga mengabulkan gugatan Ketua Umum Partai Hanura itu dan membatalkan surat keputusan (SK) KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai calon anggota DPD. Hakim juga memerintahkan KPU untuk mencabut SK tersebut. Namun hingga kini KPU urung menetukan sikap terkait hal ini.
Editor: Idul HM




























