Jakarta, PONTAS.ID – Warga masyarakat yang berprofesi sebagai guru atau tenaga pengajar di sekolah-sekolah, saat ini tengah menjadi incaran bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), untuk mendulang suara dalam kontestasi Pemilu 2019.
Demikian disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriawan Salim. Karena itu, dia mengimbau kepada semua guru di seluruh penjuru tanah air, untuk tidak terseret-seret ke politik praktis dalam masa kampanye Pilpres.
Kalangan guru menjadi rebutan bagi semua pasangan capres-cawapres, sebab suara guru signifikan, yakni 3,2 juta suara. Sehingga tak heran kalau pasangan capres dan cawapres mengiming-imingi guru dengan berbagai janji, bahkan janji itu tidak rasional, seperti janji menaikkan gaji guru menjadi Rp 20 juta perbulan.
“Maka dari itu guru jangan terseret-seret politik dalam pilpres, jangan menjadi partisan. Guru terkadang prakmatis ketika diiming-imingi capres,” kata Satriawan saat konfrensi pers dalam rangka perayaan Hari Guru Nasional di kantor LBH Jakarta, Minggu (25/11/2018).
Berdasarkan pantauan FSGI di lapangan, tidak sedikit guru yang menjadi partisan, bahkan membawa pandangan politiknya ke kelas dalam proses belajar mengajar. Bahkan, tak jarang terjadi keributan di grup-grup media sosial guru akibat perbedaan pilihan politik.
“Banyak guru yang membawa pandangan politiknya ke kelas. Bahkan ada kasus guru SD di sebuah daerah yang mengatakan di kelas, tidak boleh memilih pasangan capres nomor urut A. Ini kan masalah,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengritisi janji yang diutarakan oleh tim pemenangan salah satu pasangan capres-cawapres, yang akan menaikkan gaji guru sebesar 20 juta rupiah. Menurut Satriawan, hal itu mustahil dilakukan, dan hanya janji manis untuk mendulang suara dari kalangan guru.
Secara aspek teknis, lanjut Satriawan, kualifikasi guru yang digaji 20 juta rupiah itu juga tidak jelas. Misalnya apakah guru PNS atau non PNS, guru di sekolah negeri atau swasta, sekolah umum atau madrasah, golongan/pangkat, kemudian cara mendapatkan dan sebagainya.
“Itu angka yang sangat menggiurkan, tetapi tidak masuk akal. Itu tidak dikalkulasikan secara matang, baik dari aspek keuangan negara, maupun aspek teknis seperti kualifikasi guru yang mendapatkannya,” tutur dia.
Editor: Risman Septian