Jakarta, PONTAS.ID – Ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ,Dr .Chairul Huda menilai prinsip strict liability pada penegakan hukum kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) ini menyalahi prosedur hukum.
Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ini digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ibarat ada perempuan hamil tanpa suami, harus dicari dulu orang menghamili. Setelah yang dicari tersebut ditemukan, barulah dia bisa diminta pertanggungjawabannya,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (20/10/2018).
Ia mengatakan, penggunaan prinsip strict liability pada kasus karhutla harus diketahui terlebih dahulu penyebab kebakaran tersebut. Kalau tidak diketahui penyebab kebakaran tersebut, maka strict liability tidak bisa diterapkan.Perlakuan prinsip tersebut, kata Chaerul Huda, berlaku pada kasus karhutla yang terjadi di hutan negara di Pulau Jawa maupun karhutla di lahan milik korporasi di luar Pulau Jawa.
Kebakaran hutan negara juga tidak serta merta diberlakukan strict liability. Karena harus dicari dulu penyebab kebakaran itu. Sama seperti terjadi di lahan konsesi milik korporasi, juga harus dilihat dulu penyebab kebakaran tersebut.
“Apakah dibakar atau terbakar. Kalau terbakar kan pemilik konsesi justru merupakan korban?” katanya.
Sementara itu, Pakar Hukum Kehutanan Dr.Sadino mengatakan, perlakuan hukum yang diterapkan KLHK pada kasus kebakaran hutan negara di Pulau Jawa berbanding terbalik dengan kasus karhutla di luar Pulau Jawa.
KLHK terus memperkarakan perusahaan-perusahaan yang dituding terlibat karhutla.
Sejak 2015 tercatat ada 171 korporasi yang dikenai sanksi administratif. Di antara 171 korporasi tersebut, sebelas korporasi digugat perdata. Lima di antaranya sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan nilai pertanggungjawaban korporasi senilai Rp1,4 triliun. Sedangkan 12 kasus lainnya diproses pidana oleh penyidik KLHK.
Penegakan hukum yang dilakukan KLHK ini menggunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Secara teori, strictliability itu tidak bisa diterapkan pada kasus karhutla yang melibatkan korporasi hutan tanaman industri (HTI), korporasi perkebunan sawit, maupun kasus kebakaran di hutan negara.
“Karena (untuk menerapkan strict liability) persyaratannya sangat ketat. Tapi karena KLHK menerapkan strict liability korporasi HTI dan perkebunan sawit, demi persamaan hukum, seharusnya kebakaran yang terjadi di hutan negara juga bisa diterapkan strict liability,” tandas Sadino.
Editor: Idul HM