Penggunaan Pupuk Kimia Berlebih Ancam Ketahanan Pangan Nasional

Penggunaan PUPUK pada tanaman. (Ist)

Jakarta, PONTAS.ID – Adanya kerusakan tanah yang terjadi pada area yang luas dan penggunaan pupuk serta pestisida yang tidak bijak mengancam ketahanan pangan nasional.

Hal itu dikatakan Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac Food and Agriculture Organization (FAO) Ratno Soetjiptadie dalam acara Diskusi Tebatas di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (9/7).

Dia memperkirakan sekitar 69% tanah indonesia dikategorikan dalam kondisi rusak lantaran penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan.

Selain itu, rendahnya sentuhan teknologi karena minimnya ilmu pengetahuan para petani membuat situasi tidak kunjung membaik.

“Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau memilah obat-obatan apa saja yang boleh atau tidak boleh digunakan. Petani juga tidak bisa memilih benih unggul,” ujar Ratno melalui keterangan resmi, Selasa (10/7).

Ia mengatakan sebagian petani di Indonesia memberikan pupuk dalam takaran besar karena mereka berpikir semakin banyak pupuk, semakin tinggi produksi yang dihasilkan.

“Bukannya produksi tinggi, tanah malah jadi rusak. Itu juga yang membuat biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi karena terlalu banyak pupuk,” terangnya.

Berdasarkan data FAO, rata-rata biaya produksi beras di Indonesia sebesar Rp5.900 per kilogram (kg). Jauh di atas Vietnam yang hanya Rp2.300 per kg, Australia Rp 1.800 per kg dan Amerika Serikat (AS) Rp 900 per kg.

“Jika tidak ada terobosan, indonesia akan terus teertinggal. Impor beras bisa menjadi opsi karena biayanya lebih murah,” tuturnya.

Ia pun mengatakan pemerintah perlu segera membuat program perbaikan tanah atau Soil Amendment Programme dengan memperbaiki sifat biologi tanah.

Selama ini, ia menganggap pemerintah dan masyarakat hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia, sementara aspek biologi dikesampingkan.

“Nenek moyang kita jaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Tapi sekarang pada saat intensif menggunakan pupuk, produksi tetap tidak maksimal,” tukasnya.

Ketua Kompartemen Tanaman Pangan Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) Yuana Leksana menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, produksi padi terus meningkat, namun produktivitasnya menurun.

Pada 2015, rata-rata produktivitas padi sebesar 5,34 ton per hektare (ha), turun menjadi 5,24 ton per ha pada 2016 dan hanya mencapai 5,16 ton per ha para 2017.

Di tengah produktivitas yang mengendur, produksi dapat meningkat karena adanya luas tambah tanam.

Ia pun mendorong agar pemerintah lebih giat menyosialisasikan keunggulan benih-benih baru yang memiliki tingkat produktivitas tinggi kepada para petani.

“Varietas padi Ciherang yang dilepas pada 2000 masih mendominasi 30,44% luas tanam padi nasional. Padahal Kementan telah menciptakan banyak varietas padi yang memiliki potensi hasil lebih tinggi seperti Mekongga dan Inpari,” tandas Yuana.

 

Editor: Idul HM

 

Previous articleDPR Gelar Paripurna Perpanjang Sejumlah RUU
Next articlePAN Diyakini Akan Merapat ke Jokowi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here