Jakarta, PONTAS.ID – Beberapa waktu terjadi peristiwa meletusnya Gunung Agung mengakibatkan beberapa bandara International yang terdampak kejadian tersebut mengalami penutupan sementara. Dari hal tersebut diduga ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pidana korporasi dalam meletusnya Gunung Agung, Karang Asem, Bali, Selasa (28/11/2017), oleh PT Angkasa Pura dengan mengabaikan keselamatan dan pelayanan kenyamanan terhadap penumpang.
Pakar hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, menyatakan, force majeur atau kondisi darurat/memaksa sesuatu yang dapat diduga, apalagi di Indonesia banyak gunung berapi dan kondisi alam yang ekstrim. Force majeur baru dapat menghilangkan atribusi pertanggungjawaban korporasi jika force majeur itu sama sekali tidak bisa di duga.
Menurut pandangan hukum yang ia ketahui, dalam konteks kasus meletusnya Gunung Agung, tidak murni force majeur, karena tanda-tanda akan meletusnya Gunung Agung ini sudah dapat diduga. BMKG sudah mengingatkan akan adanya tanda-tanda alam bakal meletusnya Gunung Agung ini.
”Oleh karena itu harusnya korporasi yaitu perusahaan maskapai penerbangan dan PT Angkasa Pura sudah mempersiapkan langkah-langkah untuk dapat mengantisipasi meletusnya Gunung Agung ini,” kata Ahmad Sofian, Jakarta, Senin, (4/11/17).
Lebih lanjut Sofian mencontohkan, langkah tersebut misalnya dengan menyiapkan standard operating prosedure (SOP) untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam memberikan layanan pada penumpang sehingga tidak terjadi penelantaran penumpang.
Langkah lain yang bisa dilakukan dengan bekerjasama perusahaan asuransi dengan memperluas cakupan resiko yang meliputi terjadinya bencana alam.
“Dengan demikian penumpang tetap merasa nyaman dan aman untuk bepergian karena ada covering resiko dari perusahaan asuransi,” ujarnya.
Dia menilai, PT. Angkasa Pura sebagai korporasi yang mengelola bandara harusnya juga bertanggung jawab terhadap pelayanan penumpang. Mereka tidak bisa melepaskan diri dengan alasan force majeur. Penumpang telah membayar jasa bandara untuk dibebankan dari harga tiket.
Oleh karena itu PT Angkasa Pura tidak bisa lepas tangan begitu jasa untuk pengurusan penumpang mendapatkan akomodasi dan konsumsi yang layak akibat adanya erupsi Gunung Agung. “Ini menujunjukkan PT Angkasa Pura tidak respect pada hak-hak penumpang dan ini pelanggaran HAM,” tegasnya.
Komnas HAM Harus Selidiki
Sofian berpandangan, seharusnya pembayaran jasa bandara sudah termasuk didalamnya resiko-resiko yang bakal dialami penumpang baik resiko yang bisa diduga maupun resiko yang tidak bisa diduga.
“Komisi Nasional (Komnas) HAM dapat saja melakukan langkah-langkah penyelidikan apakah telah terjadi pelanggaran HAM dalam konteks kasus ini. Menurut saya jangan sampai terjadi bencana kemanusiaan di dalam bandara hanya karena buruknya layanan yang diberikan PT Angkasa Pura,” katanya.
Dia menjelaskan, SOP dalam memenuhi hak-hak asasi menusia ketika terjadi situasi farce majeur harus menjadi prioritas, ketika SOP ini tidak dimiliki dan terjadi penelantaran terhadap hak-hak dasar penumpang, maka menurut saya telah terjadi pelanggaran HAM, dan korporasi (PT Angkasa Pura dan perusahaan penerbangan) harus dapat diminta tanggung jawabnya,” pungkasnya. (Rul)