Pengamat Hukum Tata Negara: Kepala Daerah Harus Bersih dari Tindak Pidana

Ilustrasi

Jakarta, PONTAS.ID – Pengamat hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani mengatakan, ketentuan dalam Pasal a quo sejalan dengan putusan MK yang termuat dalam Putusan MK No.4/PUU-VII/2009. Putusan tersebut mensyaratkan jeda 5 tahun setelah menjalani hukuman atau jika hendak mencalonkan tanpa menunggu 5 tahun disyaratkan mengumumkan diri kepada publik sebagaimana Putusan MK No.42/PUU-VIII/2015.

Menurutnya, dua ketentuan itu jalan moderat sebagai bentuk margin of appreciation terhadap semua orang yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik. Apalagi yang bersangkutan tidak mampu menguraikan kerugian konstitusionalnya dan menggunakan batu uji yang tidak tepat.

“Jadi menurut saya sudah tidak relevan untuk dipersoalkan. Secara obyek UU memang berbeda, tetapi kalau dilihat isu konstitusionalnya sama saja,” kata Ismail Hasani.

Dosen hukum tata negara UIN Jakarta, Nur Rohim Yunus menegaskan, kepala daerah merupakan publik figur yang tentunya harus memiliki rekam jejak yang baik dan bersih dari tindak pidana apapun. Seseorang yang telah menjadi mantan narapidana seharusnya memang tidak dapat mengajukan diri sebagai pemimpin dalam institusi apapun, termasuk menjadi kepala daerah.

Pasalnya, lanjut dia, semua perilaku yang telah dilakukan seseorang menjadi standar kelayakan diri seseorang unt mnduduki jabatan apapun. “Hak politik seseorang untuk menduduki jabatan memang seharusnya dilindungi, tetapi upaya mencari publik figur yang taat hukum atau yang tidak mencederai hukum di negara hukum harus selalu dikedepankan,” kata Nur Rohim Yunus.

Pengamat hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Bilal Dewansyah mengungkapkan, MK pernah memutus perkara serupa pada Juli lalu. Tindak pidana yang dimaksud itu harus tindak pidana berat, korupsi atau tindak pidana yang memecah belah kesatuan. “Jika permohonan pemohon hanya itu, pasti MK akan memutus tidak dapat diterima, karena pasal dalam UU tersebut sudah pernah diuji,” kata Bilal.

Peneliti hukum tata negara, Hifdzil Alim, menjelaskan, syarat narapidana itu diberi jeda agar tidak ikut kembali di Pilkada supaya (1) ada efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi pidananya itu. (2) pendidikan politik bagi calon kepala daerah bahwa jika ia melakukan pidana, maka sanksinya akan sangat berat. “Salah satunya tidak diperbolehkan ikut pilkada. Jadi cara berpikirnya harus seperti itu,” kata Hifdzil Alim.

Dia juga menilai JR tersebut sebenarnya tidak melanggar konstitusionalitas pemohon. Tetapi ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. “Jadi tidak menghilangkan hak pemohon untuk mencalonkan diri. Misalnya mengumumkan bahwa ia adalah mantan terpidana,” jelasnya.

Dia menambahkan, “masyarakat kan harus diberi hak untuk tahu siapa calon kepala daerah yang akan dipilih. Saya belum tahu. Semestinya begitu (MK menolak JR),” pungkasnya.

Previous articleImbas Erupsi Gunung Agung, DPR Harap Bali Tak Kehilangan Wisatawan
Next articleGerindra Siapkan Bantuan Hukum untuk Ahmad Dhani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here