Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan miris dengan kenaikan harga beberapa komoditas bahan kebutuhan pokok, minyak goreng dan kedelei belum teratasi, kini harga bahan bakar secara bertahap pada tahun 2022 ini, yakni Pertamax dan LPG 3 kg akan dinaikkan.
Hal ini tentu akan sangat berdampak pada kesejahteraan rakyat secara umum. Jika komoditas ini harga naik, maka harga barang-barang lainnya juga akan naik sebagai efek inflasi. Selain itu, skema kebijakan yang tidak tepat justru menimbulkan persoalan migrasi konsumen.
“Kita pahami bersama jika BBM dan gas naik, maka otomatis akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan lainnya. Terutama untuk LPG 3 kg, karena selama ini disubsidi pemerintah, maka kenaikan harganya jelas akan mengerek harga barang lain. Begitupun dengan Pertamax yang harganya kini naik menjadi Rp12.500/liter, sangat mungkin konsumen beralih ke Pertalite yang disubsidi dengan harga Rp7650/liter,” ungkap Politisi Senior Partai Demokrat ini, Senin (4/4/22022).
Menurut Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini, pemerintah perlu melakukan mitigasi yang tepat atas kenaikan harga Pertamax dan LPG 3 kg. Sebab, dengan selisih harga yang begitu jauh, pengguna Pertamax yang beralih ke Pertalite akan membuat kuota BBM bersubsidi ini cepat habis, sehingga pemerintah mesti kembali menyediakannya. Akhirnya, beban subsidi di APBN membengkak, dan ujung-ujungnya dana pembangunan akan terganggu.
“Jika LPG 3 kg ikutan naik juga, maka jelas sangat memberatkan pelaku UMKM sehingga ujungnya merugikan konsumen. Penjual nasi goreng, warung makan sederhana, bakso, dan jajanan rakyat lainnya jelas-jelas menggunakan LPG 3 kg. Kenaikan harga gas bersubsidi ini akan sangat berdampak pada keberlanjutan usaha mereka, dan akhirnya harga juga akan ikutan naik. Ini adalah skenario yang akan terjadi,” kata Syarief.
Oleh karena itu, Syarief meminta pemerintah agar betul-betul menelaah lebih tajam kebijakan menaikkan harga Pertamax dan LPG 3 kg ini. Jika pengawasan dan mitigasi tidak serius, maka rakyat akan beralih ke komoditas yang harganya lebih rendah. Akhirnya akan terjadi kelangkaan. Pola ini akan selalu berulang, sehingga narasi mengurangi beban subsidi menjadi tidak berarti. Beban APBN tetap akan membengkak.
“Saya kira persoalannya bukan saja pada penyesuaian atas harga keekonomian secara global. Namun yang juga lebih penting adalah menyesuaikan jarak harga komoditas bersubsidi dengan yang nonsubsidi tidak terlalu jauh. Jika selisih harga Pertamax dan Pertalite saja hampir setengah harga, maka migrasi komsumen sangat mungkin terjadi. Disinilah peran negara mengatur agar perekonomian berjalan dengan baik,” tutup Syarief.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Pahala Simanjuntak