Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid menyebutkan, Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dalam penetapannya sebagai RUU inisiatif DPR kontroversial, ternyata mendapatkan penyikapan kritis dan bahkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.
Catatan-catatan dari Fraksi PKS saat rapat dibaleg agar TAP MPRS no XXV/1966 dimasukkan dalam konsideran, dan agar dicabutlah pasal yang sebutkan trisila,ekasila dan ketuhanan berkebudayaan dan lain-lainnya dari RUU HIP, ternyata tidak diakomodasi. Sehingga saat di Rapat Paripurna PKS dengan tegas menyatakan menolak dengana catatan terhadap RUU HIP tersebut.
Belakangan memang Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pengusul awal RUU itu akhirnya berubah dan setuju memasukkan TAP MPRS No XXV/1996 yang menetapkan larangan komunisme sebagai konsiderans dalam RUU HIP dan menghapus Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) yang memunculkan kembali istilah Pancasila Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
Dengan PDIP berubah sikap dan setuju dimasukkannya TAP MPRS No XXV/1966 soal PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsideran mengingat RUU HIP, maka semua fraksi di DPR secara resmi dan terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum PKI adalah Partai terlarang, dan juga larangan penyebaran dan pengajaran komunisme, marxisme&leninisme.
“Dan dengan PDIP menerima masuknya TAP MPRS noXXV/1966 dalam konsideran RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS no XXV/1966 ke dalam RUU HIP. Tetapi Publik sudah menyikapi sangat kritis thd RUU HIP ini, bukan lagi hanya soal tak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan trisila dan ekasila, tetapi masalah-masalah dalam RUU HIP ini mereka dapatkan tersebar di beberapa pasal, yakni seperti pada Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU itu,” kata pria akrab disapa HNW dalam keterangan pers, Selasa (16/6/2020).
HNW menuturkan, Baleg DPR harusnya secara demokratis memperhatikan suara Rakyat ini. Sehingga kalaupun RUU HIP itu tetap akan dibahas maka itu dalam rangka melaksanakan aspirasi Rakyat. Selain itu Baleg juga perlu melakukan perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya.
“Larangan Komunisme serta Pancasila yg bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar terjabarkan dalam norma yg ada dlm batang tubuh RUU itu,” ujarnya.
Menurut HNW, hal ini sejalan dengan aspirasi dan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI-Polri, para Pakar dan berbagai Ormas atau kelompok2 masyarakat yang menolak RUU itu.
“Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, Para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966. Krn TAP MPRS itu masih berlaku,relevan dan diyakini diperlukan dan akan membentengi Pancasila dari ideologi bertentangan dengan Pancasila, apalagi dengan ideologi komunisme sudah 2 kali terjadi pemberontakan thd Negara Indonesia. Serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Juga catatan kritis lainnya menilai RUU HIP seperti ini justru mendowngrade Pancasila sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 ada dalam Pembukaan UUDNRI 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan olh Baleg,” papar politikus PKS ini.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai ketika PDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan pasal 7 soal Trisila&Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draft RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar.
“Karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka seharusnyalah bila RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg, dan tidak malah dilanjutkan pembahasannya. Unt disiapkan ulang naskah akademiknya, dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan perkembangan sikap Partai Pengusul, juga sesuai dengan kritik dan saran dari Rakyat, Pakar, Purnawirawan TNI/Polri, Ormas dan lain-lainnya,”tambahnya.
HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik ini, maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU ini memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan, atau malah dihentikan saja.
Apalagi, penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati, dan itu ada dlm Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat2 UUDNRI 1945. Ia mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan unt dilanjutkan dan disahkan.
“Pancasila adalah grundnorm (norma dasar) yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tapi yg disepakati sebagai kompromi olh para Founding Fathers. Janganlah Pancasila didowngrade melalui UU kontroversial spt ini. Tetapi apabila mau dibuat penjabaran lagi, maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945, melalui amandemen lagi thd UUD, bukan diatur dalam UU, apalagi kontroversial seperti RUU HIP ini,” sesalnya.
Apabila ideologi Pancasila termaktub dlm Pembukaan UUD itu diatur dalam UU khusus seperti RUU HIP, maka bagaimana bila nanti UU itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945?!
“Jadi, ini seakan lompat, dari Pancasila dalam pembukaan ke pengaturan dalam UU. Itu lah mengapa masyarakat menolak RUU HIP ini selain kesannya melompat dari Pembukaan ke UU dg melangkahi UUD, juga mengkaburkan Pancasila dengan penyebutan Trisila/Ekasila, itu semuanya seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” ujarnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Idul HM