Jakarta, PONTAS.ID – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengklaim larangan penjualan minyak curah tidak akan menekan tingkat daya beli masyarakat dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Misalnya, para pedagang kaki lima di pinggir jalan yang kerap menggunakan minyak tersebut karena dianggap lebih murah.
Dari sisi tingkat daya beli, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno mengatakan larangan ini tidak akan membuat kantong masyarakat bolong. Sebab, minyak goreng dalam kemasan sejatinya lebih sehat ketimbang minyak curah yang tidak memiliki tambahan vitamin dan pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, minyak goreng dalam kemasan sebenarnya memiliki volume yang lebih tepat daripada minyak curah yang biasanya kerap dikurangi takaran ‘timbangannya’.
“Minyak curah memang murah tapi volumenya kurang, terus tidak sehat. Coba bandingin, mending mahal dikit tapi volume pas dan sehat apa tidak? Sehat kan perlu ongkos nantinya,” kata Benny di Jakarta, Senin (7/10/2019).
Lebih lanjut, menurutnya, tingkat daya beli masyarakat tidak akan tertekan akibat kebijakan baru ini karena pengemasan minyak goreng dalam kemasan bisa menyesuaikan kemampuan beli masyarakat. Misalnya, saat ini marak dijual minyak goreng dalam kemasan kecil atau volume rendah dengan harga yang pas dengan kantong wong cilik.
Sementara dari sisi UMKM, para pelaku tetap bisa menggunakan minyak curah asal dikemas dalam kemasan premium, sehingga tidak plastik biasa. Selain itu, minyak curah tersebut tetap melewati proses penyulingan dan diawasi oleh BPOM, sehingga faktor kesehatan tetap terjamin.
Oleh karena itu, distributor minyak curah yang biasanya mendapatkan minyak dari bekas pakai restoran dan warung perlu melakukan penyulingan. Meski, secara tidak langsung larangan ini bakal membuat para distributor harus mengeluarkan ‘kocek’ tambahan untuk membeli alat penyulingan.
“Tidak, tidak (menekan UMKM). UMKM bisa beli bahan bakunya, dia juga bisa mengemasnya asal sesuai ketentuan,” ungkapnya.
Sedangkan secara keseluruhan, ia menilai larangan ini tidak akan mengganggu ekosistem industri minyak goreng di dalam negeri. Sebab, penggunaan minyak curah hanya seperempat dari hasil produksi minyak goreng nasional.
Seperempat lainnya, masyarakat menggunakan minyak goreng dalam kemasan premium. Sedangkan setengah lainnya dijual ke luar negeri.
Sejak 2014
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan jika peraturan Menteri Perdagangan untuk memasarkan minyak goreng dalam kemasan sebenarnya sudah ada sejak tahun 2014.
“Peraturan Menteri Perdagangan untuk memasarkan minyak goreng dalam kemasan itu sudah ada sejak tahun 2014. Namun kesiapan perusahaan minyak goreng belum siap. Jadi minta pengunduran peraturan Menteri Perdagangan itu 3 kali,” kata Sahat di Jakarta.
Mundurnya kebijakan minyak goreng kemasan ini disebabkan masih belum siapnya industri minyak goreng untuk membuat pabrik kemasan. Pemerintah menyadari pengemasan minyak goreng butuh persiapan lebih panjang.
Akhirnya, pada tahun 2018 Assosiasi GIMNI dan AIMMI sepakat untuk memberlakukan penjualan semua minyak goreng dalam kemasan sederhana mulai 1 Januari 2020.
Kemasan sederhana ini ditujukan untuk mengganti minyak goreng curah yang disalurkan di pasar-pasar tradisional. Nantinya, minyak goreng kemasan akan dikemas dengan berat 1/4 liter, 1/2 liter dan 1 liter.
Berdasarkan ketentuan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiarsto Lukito mengatakan, bila ada pengusaha yang masih ingin menjual minyak curah, mereka wajib melakukan proses penyulingan ulang terhadap minyak tersebut. Alat penyulingan, katanya, sebenarnya dijual di pasar, sehingga sangat mungkin untuk digunakan.
Selain itu, ia juga menyarankan agar minyak curah tersebut tetap diawasi oleh BPOM. Dengan begitu, sambungnya, kesehatan masyarakat tetap terjamin.
“Jadi minyak di masukan ke dalam satu tempat, kemudian diisi ke botolnya dan dibayar. Itu bagus. Jadi hanya dengan itulah kita ke depan berupaya untuk menjaga kesehatan masyarakat dan harganya bisa dikontrol,” terangnya.
Kendati begitu, Enggar mengaku belum menyiapkan sanksi khusus bila peredaran minyak curah masih ada di pasar. Yang terpenting, menurutnya, sosialisasi terkait bahaya penggunaan minyak curah kepada masyarakat selaku konsumen langsung telah dilakukan.
Selain itu, kebijakan ini sudah mewajibkan pengusaha untuk mulai beralih ke kemasan premium. “Ya kami tidak perlu sanksi, yang penting tidak ada suplainya,” tuturnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Hendrik JS