Iuran BPJS Kesehatan Naik Dua Kali Lipat, DPR Menolak

BPJS Kesehatan

Jakarta, PONTAS.ID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak tegas usulan iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani. DPR menilai iuran itu bakal membuat peserta malas membayar.

Anggota Komisi XI Ichsan Firdaus mengatakan jumlah peserta yang menunggak akan semakin banyak jika iuran dinaikkan hingga 100 persen dari sebelumnya. Dengan demikian, keuangan BPJS Kesehatan pun bisa saja semakin memburuk dari sekarang.

“Setiap kenaikan apapun yang mengalami kenaikan yang cukup drastis harus dimitigasi oleh pemerintah. Saya tidak sepakat kalau kenaikannya 100 persen,” ujar Ichsan di Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Diketahui, Sri Mulyani mengajukan kenaikan iuran untuk seluruh kelas. Bagi peserta mandiri, kelas I diusulkan naik dari Rp80 ribu per bulan menjadi Rp160 ribu per bulan.

Kemudian, kelas II naik dari Rp51 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu. Lalu kelas III diusulkan menjadi Rp42 ribu per bulan dari Rp25.500 per bulan.

Sementara, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) dinaikkan Rp19 ribu per bulan dari Rp23 ribu per bulan menjadi Rp42 ribu per bulan.

Ichsan meminta pemerintah untuk mengkaji lagi jumlah kenaikan iuran yang dibebankan kepada masyarakat. Pada dasarnya, ia mengaku setuju ada kenaikan, dengan catatan kenaikannya tidak sampai 100 persen.

Masalahnya, masyarakat bisa saja melirik perusahaan asuransi swasta ketimbang menjadi peserta di BPJS Kesehatan karena perbedaan tarifnya semakin kecil. Bila itu terjadi, maka lembaga itu akan kehilangan pangsa pasarnya.

“Perlu dilihat apakah masyarakat mampu atau tidak. BPJS Kesehatan kan bersaing dengan perusahaan asuransi swasta,” tegas dia.

Sementara, Anggota Komisi IX dari fraksi PKB Mafirion menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan perlu dibarengi dengan perbaikan tata kelola perusahaan (good corporate governance/gcg). Sebab, tidak semua peserta PBI berhak mendapatkan fasilitas itu.

“Ini karena dinas sosial tidak berkoordinasi dengan kecamatan, kelurahan, dan pihak RT RW setempat,” terang Mafirion.

Hal itu kerap juga menjadi masalah dalam BPJS Kesehatan selama ini. Pemerintah diminta membenahi data penerima manfaat BPJS Kesehatan.

“Kenaikan iuran akan sia-sia ini tanpa perbaikan tata kelola sebagai badan pelayanan publik,” tandasnya.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan usulan kenaikan pembayaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran kenaikan iuran tersebut mencapai 100 persen. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000. Kemudian untuk peserta JKN kelas II yang tadinya membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.

Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sempat mengusulkan adanya kenaikan iuran peserta kelas I menjadi Rp 120.000 sementara kelas II Rp 75.000 untuk mengatasi masalah defisit yang telah melanda BPJS Kesehatan sejak tahun 2014.
“Kami mengusulkan kelas II dan kelas I jumlah yang diusulkan DJSN perlu dinaikkan. Pertama, itu untuk memberi sinyal yang ingin diberi pemerintah ke seluruh universal health coverage standard kelas III kalau mau naik kelas ada konsekuensi,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (28/8/2019).

“DJSN tadi Rp 75.000 untuk kelas III dan Rp 120.000 untuk kelas I, kami mengusulkan Rp 110.000 untuk kelas II dan Rp 160.000 untuk kelas I yang akan kita mulai pada 1 Januari 2020,” jelas dia.

Dia mengatakan, usulan kenaikan iuran untuk peserta kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 bisa diberlakukan. Kenaikan iuran kelas III dan dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) bakal diberlakukan mulai Agustus 2019.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Hendrik JS

Previous articleGandeng Industri, Pemerintah Revitalisasi Kurikulum SMK
Next article17 Blok Migas Laku Dilelang, Ini yang Paling Menguntungkan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here