Jakarta, PONTAS.ID – Anggota Komisi I DPR RI, Evita Nursanty menegaskan serangan perang cyber datang tiba-tiba. UU Cyber harus menjadi payung hukum segala aspek.
“Undang- undang Cyber (draft) tidak dibahas Komisi I, tetapi di di Badan Legislasi (Baleg). Kita semua setuju bahwa UU ini sangat dibutuhkan, apalagi dinamika saat ini ancaman cyber bukan masalah kecil,” kata Evita dalam Forum Legislasi Tema “Progres Percepatan Pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS)?” di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Selain Evita Nursanty hadir juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber & Komunikasi CISSReC, Pratama Persadha.
Menurut Evita, perang kedepan adalah perang cyber. Bedanya perang tradisional dikleir dan perang cyber tidak dikleir. Perang cyber tiba-tiba diserang tidak ada deklarasinya.
“Ini merupakan hal yang harus di perhatian pemerintah kita. Karena kita melihat sejarahnya tahun 2007-2008 ketika Estonia, Georgia itu diserang dengan cyber war oleh Rusia, mereka sudah tidak bisa percaya apa-apa, mereka lumpuh,” ungkap politikus PDIP ini.
Evita pun mengkhawatirkan, ancaman itu kemungkinan akan terjadi di Indonesia.
“Ancaman itu ada di depan mata kita yang harus menjadi perhatian kita. UU Cyber, konteks, substansinya harus mendalam. Kenapa? UU Cyber itu keamanan, ketahanan cakupannya luas. saya berharap UU tersebut menjadi payung hukum dari semua aspek,” cetusnya.
Urai Evita, dahulu pemerintah melihat ancaman terhadap narkotika, timbullah BNN, ancaman terhadap terorisme, timbullah BNPT.
“Kita melihat sekarang ancaman terhadap cyber itu sudah di depan mata kita, maka itu adanya BSSN (Badan Siber Sandi Negara),” serunya.
Diakui Evita, membaca draft UU Cyber lebih fokus kepada BSSN saja. Karena lebih dari 20 pasal yang terkandung di dalam RUU itu, mengenai BSSN.
“Tetapi di sini ada 20 pasal mengenai BSSN dan terlalu teknis sampai sertifikasi,” tandasnya.
Benturan antar Lembaga
Sebelumnya, Ketua Lembaga Riset Keamanan Cyber & Komunikasi CISSReC, Pratama Persadha, menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Cyber yang terlalu memberikan kewenangan kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) berpotensi terjadi benturan antar lembaga negara.
“Saya termasuk yang diundang dalam rangka simposium RUU Keamanan dan Ketahanan Cyber (KKS) yang banyak dihadiri steak holder. Apa yang terjadi. Ternyata dari sekian banyak petanyaan, rata-rata mereka masih meragukan bahwa undang-undang ini perlu segera disahkan,” kata pratama.
Pratama melanjutkan, ternyata masih banyak terjadi conflict of interest antara BSSN dengan institusi-institusi lain yang memang saat ini sudah berkecimpung dalam bidang siber. Contohnya adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Kemudian dari Kominfo, Polri dan Kejaksaan.
“Saya agak terkaget-kaget juga, ketika Ketua DPR bertekad akan segera mensahkan RUU Siber ini menjadi UU paling lambat September 2019. Kok, undang-undang sebesar ini yang nantinya akan mengatur seluruh aspek kehidupan syber di Indonesia itu, terutama di bidang keamanan dan pertahanan itu terlalu cepat untuk diputuskan tanpa adanya koordinasi dengan institusi yang memang berkepentingan terhadap hal ini,” terangnya.
Pratama mengaku sudah membuat beberapa kajian tentang kekurangan dan potensi masalah RUU Siber ini. Ada bebarapa dan pasal per pasal. Misalnya pasal 14 ayat 2 (B) dalam rancangan undang-undang tentang keamanan siber itu. BIN diwajibkan mencatat dan memberitahukan setiap insiden atau serangan siber yang terjadi pada objek keamanan siber yang menjadi tanggung jawabnya BSSN.
Artinya apa, BIN itu hanya bertanggung jawab pada presiden. “Nah kalau terjadi apa-apa, BIN dengan adanya undang-undang ini, maka BIN wajib memberikan informasi masalah serangan terjadi di BIN itu. Informasinya itu dikonekkan ke BSSN.Sedangkan BIN tidak bertanggung jawab kepada BSSN,” kata Pratama lagi.
Terlebih informasi BIN adalah sifatnya adalah intelejen, rahasia. Bagaimana BSSN ini bisa mengatur level kerahasiaan informasi yang ada di dalam lingkup sistemnya.
Dikatakannya, memang dibutuhkan UU Siber. Tapi harus lebih dialkukan pendalaman lebih jauh lagi. “Perlu dipertimbangkan lagi dan harus berbicara dengan seluruh steak holder. Bahaya sekali kalau kita punya undang-undang yang punya kekuatan absolute terhadap suatu masalah, bahaya. Kenapa, karena takutnya sewenang-wenang,” tandas Pratama.
Oleh karena itu Pratama berharap perlu ada pertimbangan khusus.
“Bagaimana kita membuat undang-undang ini menjadi undang-undang yang baik untuk semua orang di Indonesia, untuk semua instansi, baik pemerintah maupun swasta di Indonesia,” tegasnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Hendrik JS