Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang penyadapan sudah darurat untuk segera diterbitkan. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Penyadapan.
Menurut Fahri, dalam rangka mempercepat pembentukan UU penyadapan, maka sangat dimungkinkan Presiden Jokwi untuk menerbitkan Perppu. Hal itu mengingat UU penyadapan yang sangat mendesak.
“Saya menganggap Undang-Undang ini termasuk darurat, maka kalau Pak Jokowi mau saya mengusulkan ini di Perppu saja. Biarlah Pemerintah memakai draft PP (peraturan pemerintah) zaman SBY dan dibuat Perppu sehingga Pemerintah tinggal ketok,” kata Fahri dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “RUU Penyadapan Pangkas Kewenangan KPK?” di Media Center Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa (9/7/2019).
Fahri mengatakan bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan satu Pasal dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dimana, penyadapan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
“Kemudian Pasal itu diajukan ke MK dan dibatalkan oleh MK, karena hakikat penyadap itu adalah pelanggaran HAM maka tidak bisa diatur dengan peraturan di bawah UU,” terang politikus PKS itu lagi.
Dia pun mengisahkan, ketika mengusulkan agar Menteri Telekomunikasi dan Informatika (Menkoinfo) Tifatul Sembiring meneruskan draft aturan pemerintah tentang penyadapan ke Presiden SBY untuk menjadi Perppu.
“Namun kawan kita ini agak susah juga. Akhirnya, sekarang penyadapan yang dilakukan khususnya untuk KPK didasari oleh SOP,” pungkas Fahri Hamzah.
Penyadapan Harus Diatur
Masih ditempat yang sama, Anggota Komisi III, Masinton Pasaribu menyebut, dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) setiap warga negara, maka kewenangan penyadapan oleh penegak hukum seharusnya diatur dalam Undang-Undang (UU). Sebab menurutnya di seluruh negara, setiap penyadapan diatur secara tetap dalam UU, sehingga privasi atau hak asasi setiap orang terlindungi.
“Penyadapan itu sejatinya adalah perbuatan melanggar HAM. Penyadapan itu dilegalkan oleh negara, maka harus diatur oleh UU,” kata Masinton.
Masinton menambahkan bahwa dalam konteks penegakan hukum, ada beberapa institusi yang diberikan kewenangan menyadap. Sayangnya, lanjut dia, kewenangan penyadapan tersebut tidak memiliki aturan yang tetap.
“Banyak institusi kita diberikan wewenang penyadapan, tapi penyadapan itu tidak diatur dalam aturan UU. Semestinya, penegak hukum yang memiliki kewenangan penyadapan harus memiliki batasan dan aturan, sehingga tujuan penyadapan itu jelas,” pungkas politikus PDIP ini.
Lindungi Hak Warga
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Toto Sudaryanto menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyadapan sangat penting untuk melindungi hak asasi warga Negara, dan RUU ini tidak akan memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi sudah clear dalam draf yang kita susun itu tidak memangkas kewenangan KPK,” tegas Totok.
Dia juga menyatakan kalau sebenarnya, tentang Penyadapan di Indonesia terdapat dibanyak Undang-Undang (UU) yang memuat tentang Penyadapan, tetapi definisinya juga berbeda-beda.
“Itulah yang yang membuat badan legislasi merasa perlu, baik DPR merasa perlu untuk menyusun undang-undang penyadapan yang mengatur seluruh penyadapan dikecualikan bagi KPK,” terang
Politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) ini lantas menambahkan, kalau penyadapan yang dilakukan oleh berbagai instansi itu memang harus diatur. Karena negara itu berkewajiban untuk melindungi setiap hak warga negara.
“Hak asasi yang diatur dalam konstitusi kita dan seluruh negara demokrasi. Jadi aneh apabila kita tidak memberikan perlindungan yang menjadi perintah dari konstitusi itu,” terang Toto Sudaryanto.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Risman Septian