Pemerintah Harus Bentuk Badan Pangan Nasional

Anggota MPR Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi dalam diskusi Empat Pilar MPR dngan tema "Strategi Mewujudkan Ketahanan Pangan"

Jakarta, PONTAS.ID – Carut marut persoalan pangan, khususnya impor pangan, yang terjadi saat ini bermula dari tidak ditindaklanjutinya amanah UU No. 18 Tahun 2012 yaitu pemerintah wajib membentuk badan pangan nasional.

Badan pangan ini berada langsung di bawah presiden dan memiliki kewenangan membentuk badan usaha dalam penyediaan pangan dan distribusi pangan.

“Seharusnya badan pangan nasional itu sudah terbentuk pada Oktober 2015. Namun, sampai saat ini badan pangan nasional belum terealisasi,” kata Anggota MPR Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi dalam diskusi Empat Pilar MPR dngan tema “Strategi Mewujudkan Ketahanan Pangan” di media center gedung DPR, Jumat (15/9/2018).

Lebih langjut Viva Yoga menjelaskan dari segi regulasi untuk mewujudkan ketahanan pangan sebenarnya sudah lengkap. Namun persoalannya adalah pada pelaksanaan dari regulasi itu yaitu peraturan di bawah UU sering terjadi kontradiksi.

“Misalnya, kebijakan Inpres atau peraturan menteri tidak mengambil spirit dari UU. Kebijakan di bawah UU itu sangat memungkinkan terjadinya abuse of power. Karena ada penyimpangan kekuasaan, yang kemudian dimanfaatkan sehingga tumbuh moral hazard di sekitar kebijakan itu,” kata Viva Yoga yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR ini.

Dia memberi contoh kebijakan impor beras. Kementan menyebutkan produksi beras surplus. Namun Kementerian Perdagangan menyebutkan terjadi kenaikan harga beras di pasar sehingga perlu impor beras. Dua kementerian mengajukan kebijakan yang berbeda.

Viva menyebutkan carut marut persoalan impor pangan ini berawal dari UU Pangan (UU No. 18 Tahun 2012) yang tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah saat ini. Salah satu amanah dari UU Pangan adalah pemerintah wajib membentuk badan pangan nasional. Badan ini langsung di bawah presiden dan diberi kewenangan untuk membentuk badan usaha dalam penyediaan pangan, distribusi pangan.

“Seharusnya badan pangan nasional itu sudah dibentuk pada Oktober 2015, tapi sampai sekarang badan pangan nasional belum terealisasi,” ujarnya.

“Kalau badan pangan nasional ini ada, saya sangat optimis tata niaga, mekanisme, prosedur, akan terorganisir dan mengurangi moral hazard, dan bisa meningkatkan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani serta nelayan,” sambungnya.

Viva juga menyebutkan dari sisi anggaran Kementan saat ini rata-rata hanya 1% dari APBN. Dengan anggaran sebesar itu, Viva Yoga tidak yakin ketahanan pangan akan terwujud.

“Untuk menuju pada ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan, Kementan yang bertanggungjawab di bidang pangan hanya mendapat anggaran 1% dari APBN. Apakah bisa dengan anggaran sebesar itu?” tanyanya.

“Singkatnya hal-hal yang terkait dengan persoalan pangan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Seharusnya Kementan mendapat anggaran minimal 10% untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan,” tegasnya.

Sementara itu staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Prima Gandhi menyebutkan masyarakat Indonesia belum bisa lepas dari ketergantungan pada beras sebagai bahan pangan pokok. Padahal Indonesia memiliki bahan pokok pangan lainnya seperti singkong, jagung, ubi. Namun setelah revolusi hijau, masyarakat tergantung pada bahan pokok beras.

“Kunci ketahanan pangan adalah gerakan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan belum menjadi perhatian Kementerian Pertanian. Kementan hanya berbicara soal inovasi dan infrastruktur pertanian,” kata Prima Gandhi.

Karena itu, lanjutnya, ketahanan pangan di Indonesia bisa tercapai bila ada komplementer bahan makanan pokok. Kalau masih bergantung hanya pada beras maka ketahanan pangan sulit tercapai.

“Jadi kita harus mengarus-utamakan diversifikasi pangan lokal agar kita tak lagi tergantung pada impor beras,” ujarnya

Previous articleOktober 2018, E-Tilang akan Diuji Coba di Jakarta
Next articleBelum Beres, OK OCE Mau Dibawa ke Tingkat Nasional?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here