Jakarta, PONTAS.ID – Penolakan Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA) yang diterbitkan Presiden Joko Widodo berujung wacana pembentukan Pansus di DPR.
Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR Irma Suryani Chaniago mengatakan pembentukan pansus tak boleh tiba-tiba (ujug-ujug).
“Pembentukan pansus itu harus jelas kenapa dibentuk, siapa saja yang setuju membentuk. Bukan pimpinan DPR yang memutuskan,” kata Irman saat dihubungi, Jumat (20/4/2018).
Irma menyebut sebagai tim pengawas dia menyarankan agar Komisi IX mengundang menteri terkait untuk meminta penjelasan. Sehingga setelah terang baru mengambil keputusan.
“Saya sebagai anggota tim was menyarankan agar tim was undang menteri RDP (Rapat Dengar Pendapat,red) agar masing masing tidak menafsirkan sendiri-sendiri isi perpres tersebut. Setelah ada hasil atas penjelasan menaker baru kemudian ambil keputusan seperti apa tindaklanjutnya. Jadi nggak ujug-ujug bikin pansus tanpa alasan yang jelas,” tegasnya.
Panggil Menaker
Terpisah, Komisi IX DPR, yang membidangi ketenagakerjaan, akan memanggil Kementerian Ketenagakerjaan. Kemenaker akan dipanggil untuk dimintai keterangan soal terbitnya Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA).
“Sebagai Demokrat, rasanya memang perlu ada pendalaman lintas komisi soal ini. Namun, sebagai Ketua Komisi IX, yang membidangi ketenagakerjaan, kami harus panggil dulu menteri-menterinya yang terkait tanggal 26 (April). Baru kami bisa bilang apakah perlu dipansuskan atau tidak,” kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf lewat pesan singkat.
Dede berpandangan pengawasan terhadap tenaga kerja asing memang diperlukan. Apalagi, menurutnya, ada rekomendasi Komisi IX yang belum dijalankan pemerintah.
“Tampaknya memang mesti ada pengawasan mendalam. Karena sudah banyak laporan tentang masalah-masalah di lapangan terkait TKA ini, dan dulu pun kami sudah panja-kan, dan rekom (rekomendasi) kami belum dilakukan pemerintah,” ucap Dede.
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menolak adanya wacana pembentukan Pansus Perpres TKA di DPR.
“Sedari awal isu TKA ini dipolitisir sedemikian rupa, sampai saat ini TKA di Indonesia berjumlah 126 ribu orang tapi diisukan mencapai jutaan orang, sama dengan jumlah TKI kita di berbagai negara lain,” kata Bendahara Fraksi PDIP DPR Alex Indra Lukman lewat pesan singkat.
Alex menegaskan, pembentukan Perpres tersebut bukan mempermudah masuknya tenaga kerja asing melainkan mempermudah administrasi bagi tenaga kerja asing profesional. Lukman menyebut isu tersebut sengaja digulirkan jelang tahun politik.
“Perpres itu bertujuan mempermudah proses administrasi bagi TKA profesional, level manajer ke atas, bukan mengundang TKA untuk masuk ke Indonesia seperti yang disampaikan pemerintah. Jawaban pemerintah sangat jelas dan tegas, sehingga soal wacana pembentukan Pansus dapat kita simpulkan sebagai upaya mempolitisir kebijakan pemerintah di tahun politik 2018 dan jelang 2019,” urainya.
Dia mengatakan, PDIP dan partai koalisi akan terus menyosialisasikan maksud Perpres tersebut agar terang dan tidak menimbulkan kecurigaan.
“Tentu saja PDI Perjuangan dan partai-partai pendukung pemerintah lainnya akan melakukan komunikasi politik agar pertanyaan dan kecurigaan terkait Perpres ini dapat dijelaskan tanpa melalui proses angket,” ujarnya.
Untuk diketahui, Perpres Nomor 20 Tahun 2018 itu diteken Jokowi pada 26 Maret 2018. Perpres ini berlaku setelah 3 bulan terhitung sejak tanggal diundangkan, 29 Maret 2018, oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Wacana pembentukan pansus dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Fadli berpendapat penerbitan perpres tersebut salah arah dan tidak memihak tenaga kerja lokal. Dia menegaskan kebijakan Jokowi ini perlu dikoreksi.
“Jadi, bila perlu, nanti kita usulkan untuk dibentuk pansus mengenai tenaga kerja asing, agar lebih punya taring. Bahaya sekali jika pemerintahan ini berjalan tanpa kontrol memadai,” kata Fadli lewat Twitter.
Gayung bersambut, dukungan datang dari kolega Fadli, Fahri Hamzah. Dia menduga ada pelanggaran UU di polemik tenaga kerja asing.
“Memang apabila satu keputusan pemerintah diduga telah melakukan pelanggaran undang-undang, level dari pengawasannya itu bukan hak bertanya biasa atau interpelasi,” ujar Fahri kepada wartawan, Kamis (19/4/2018).
“Kalau hak bertanya adalah hak individual anggota, kalau hak interpelasi adalah hak pertanyaan tertulis lembaga. Tetapi, karena diduga ini levelnya adalah pelanggaran undang-undang, pansus angket untuk menginvestigasi diperlukan,” terang Fahri.