Ditolak MK, Presidential Treshold Sah 20 Persen

Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat

Jakarta, PONTAS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Uji materi ini diajukan Partai Idaman yang teregistrasi dengan nomor 53/PUU-XV/2017.

“Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, membacakan putusan di Gedung MK, Selasa (11/1/2018).

Adapun pasal 222 mengatur presidential threshold (ambang batas) pencalonan presiden.
Partai politik atau gabungan parpol harus memiliki sedikit-dikitnya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 silam, agar bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Dalam putusannya MK menilai presidential threshold relevan untuk memperkuat sistem presidensial, sehingga Presiden yang terpilih nantinya bisa memiliki kekuatan di parlemen.

MK juga menilai pasal 222 tidak kedaluwarsa karena merupakan UU baru yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2017 lalu, bukan merupakan UU lama yang digunakan untuk menggelar pilpres 2014. MK juga menilai pasal 222 tidak bersifat diskriminatif.

Kendati demikian, dalam putusannya MK mengabulkan permohonan Partai Idaman terhadap uji materi pasal 173 ayat (1) dan (3) UU Pemilu. Dengan demikian, maka partai lama peserta pemilu 2014 harus tetap menjalani verifikasi faktual. “Mengabulkan permohonan untuk sebagian,” kata Arief.

Ada dua hakim MK yang mengajukan disssenting opinion (pendapat berbeda) terkait putusan MK terhadap uji materi pasal 222, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo, karena keduanya sepakat ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 itu dihapus.
Dengan penolakan ini maka ketentuan pasal 222 tersebut tak berubah dan dinyatakan sah.

Pasal Kedaluwarsa
Sebelumnya, dalam permohonannya, Partai Idaman diantaranya menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa karena menggunakan hasil pileg 2014 sebagai ambang batas untuk pilpres 2019.

Menurut Partai Idaman, pasal tersebut juga dinilai tidak relevan karena pileg dan pilpres 2019 digelar secara serentak.

Tak hanya itu, Partai Idaman juga menilai pasal tersebut diskriminatif karena menghalangi partai politik baru mengajukan capresnya.

Selain Partai Idaman, ada sejumlah pihak lain yang juga mengajukan uji materi pasal 222 UU Pemilu. Diantaranya adalah Habiburokhman dengan nomor 44/PUU-XV/2017,

Effendi Gazali dengan nomor 59/PUU-XV/2017, Hadar Nafis Gumay dengan nomor 71/PUU-XV/2017 serta Mas Soeroso dengan nomor 72/PUU-XV/2017.

Dukungan Kuat Parlemen
Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menuturkan bahwa ketentuan presidential threshold telah diterapkan pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya, yaitu Pilpres 2009 dan Pilpres 2014.

“Ketentuan Pasal 222 sudah diwujudkan pada dua kali pemilihan presiden langsung 10 tahun yang lalu juga menggunakan standar yang sama dan Pilkada Serentak Tahun 2015 dan 2016 yang 268 daerah serta 101 daerah,” kata Tjahjo saat memberikan keterangan pada sidang uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, September tahun lalu.

Ketentuan presidential threshold, lanjut Tjahjo, merupakan cermin dari adanya dukungan kuat dari parlemen terhadap pasangan calon.

“Hal tersebut (PT) merupakan sebuah cermin adanya dukungan awal yang kuat dari DPR di mana DPR merupakan simbol keterwakilan rakyat terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik,” kata Tjahjo.

Editor: Hendrik JS

Previous articleGanjil-Genap Pengendara Motor Sedang Dikaji
Next articleSetnov Akan Buka Nama Besar Kasus e-KTP

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here