Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mengingatkan pentingnya membangun narasi yang menguatkan kohesi bangsa. Ini pentingĀ agar dapat mengatasi berbagai tantangan. Baik karena dampak covid-19, persaingan global maupun masalah separatisme yang bisa memecah kesatuan bangsa.
Apalagi di bulan September, yang mengingatkan Bangsa akan adanya dua kali pengkhianatan PKI terhadap pemerintahan yang sah dan kudeta pemberontakan mereka untuk gantikan ideologi Pancasila denga Komunisme.
Oleh Karenanya, HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid sependapat dengan sikap Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), agar siapapun termasuk Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, menghentikan dan tidak melakukan framing radikalisme terhadap lembaga pendidikan.
Karena framing tanpa definisi yang benar dan tanpa bukti seperti itu malah bisa menimbulkan saling curiga dan memecah belah generasi muda bangsa, yang ujungnya bisa melemahkan persatuan Nasional.
āSaya setuju dengan Sekjen MUI KH Amirsyah Tambunan, bahwa penyebutan radikalisme tanpa bukti telah menyusup di lembaga-lembaga pendidikan harus dihentikan. Framing radikalisme dan penyebarannya di lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren, harusnya ditolak. Karena selain tak ada bukti juga tak sesuai dengan fakta. Apalagi di tengah, kebijakan pemerintah yang mengapresiasi dunia pendidikan Pesantren dengan menerbitkan Perpres No. 82 Tahun 2021 tentang dana abadi untuk pesantren,ā ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (20/9/2021).
HNW menilai semangat tersebut harus dihadirkan guna menguatkan lembaga pendidikan termasuk madrasah, agar bisa menghadirkan prinsip beragama yang rahmatan lil alamin.
Menguatkan komitmen dan intelektualitas cinta Agama, Bangsa dan NKRI dengan menguatkan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga terwujud lah tujuan pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945.
Framing tanpa bukti adanya radikalisme di lembaga pendidikan dan madrasah kata HNW terasa ganjil, apalagi terjadinya sejumlah aksi radikalisme secara berulangĀ yang nyata di wilayah Indonesia.
āAda ancaman radikalisme yang nyata membahayakan NKRI, seperti radikalisme separatis Papua menuntut Papua Merdeka.Ā Dan terakhir membunuh prajurit 4 TNI, 1 tenaga kesehatan, menganiaya dan menista para Nakes, hingga membakar puskesmas, sekolah, pasar dan lainnya. Atau sikap kapal perang Tiongkok di Natuna yang lalu lalang di perairan Indonesia danĀ membuat nelayanĀ Indonesia ketakutan. Atau sikap intoleran kalangan radikalis islamophobia yang menista Al Quran maupun Nabi Muhammad SAW.Ā Serta sejarah terjadinya dua kali pemberontakan PKI pada September 1948 dan 1965,ā jelasnya.
Melihat realita, itu menurut HNW seharusnya pemerintah fokus mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah tersebut. Ini penting agar sejarah radikalisme PKI yang mengancam eksistensi Pancasila sebagai ideologi Negara dan Bangsa, tidak berulang lagi.
Bukan justru membelah bangsa dan umat Islam dengan isu jualan radikalisme di madarasah atau pesantren. Yakni dua lembaga pendidikan yang sejak sebelum Indonesia merdeka sudah sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan.
Termasuk menjaga keutuhan dan eksistensi NKRI dan Pancasila,Ā bersama TNI mengalahkan pemberontakan PKI, dan menyelamatkan Pancasila sebagai ideologi Negara,ā katanya.
HNW menilai, penting bagi pemerintah memperkokoh sendi dan pilar persatuan Nasional,Ā seperti merangkul umat Islam untuk mengulangi kembali peran mereka menjaga dan menyelamatkan Pancasila dan NKRI.
āJadi, bukan malah menebarkan tuduhan yang meresahkan yang bisa memecah belah bangsa dan Umat Islam, yang bisa melemahkan kohesi bangsa majemuk dan maritim ini, dan yang akan berdampak pada dirugikannya kepentingan nasional, dan itu bisa jadi pintu besar untuk bangkit serta menyebarnya berbagai ideologi radikalisme yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUDNRI 1945. Seperti neo kapitalisme, neo liberalisme, termasuk neo komunisme maupun radikalisme gerakan separatisme, yang semuanya membahayakan dan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI,ā pungkasnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Pahala Simanjuntak