Bali, PONTAS.ID – Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama Ketua Bidang Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny Harman sepakat tentang pentingnya Indonesia memiliki Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penunjuk arah pembangunan.
MPR melalui Badan Pengkajian bekerjasama dengan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR serta melibatkan pakar/akademisi dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Lembaga Negara dan Kementerian Negara, sedang menyelesaikan Rancangan PPHN berikut naskah akademiknya. Ditargetkan pada awal tahun 2022 sudah selesai.
Badan Pengkajian MPR RI juga telah melakukan kajian tentang pilihan bentuk hukum PPHN, yakni bisa dimasukan dalam konstitusi, Ketetapan MPR, ataupun undang-undang. Paling ideal menurut laporan Badan Kajian MPR yang disampaikan pada pimpinan MPR pada Januari 2021 lalu dilakukan dalam bentuk Ketetapan MPR. Bukan melalui undang-undang yang masih dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Juga bukan diatur langsung dalam konstitusi, karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat, serta bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya konstitusi. Maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi,” ujar Bamsoet dalam Webinar yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, secara virtual dari Bali, Senin (13/9/2021).
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN, mempunyai konsekuensi adanya amandemen terbatas, sekurang-kurangnya berkaitan dengan dua pasal dalam konstitusi. Antara lain penambahan ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai PPHN.
“Kekhawatiran amandemen terbatas akan membuka kotak pandora dan membuka peluang dilakukannya amandemen pada substansi lain di luar PPHN, juga tidak beralasan dan terlalu premature . Proses panjang amandemen sudah diatur dalam ketentuan pasal 37 ayat 1-3 UUD NRI 1945. Ayat 1 menjelaskan, usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 237 dari 711 jumlah anggota MPR dan pengambilan keputuasannya harus memenuhi quorum 2/3 anggota MPR yang terdiri dari 9 Fraksi di DPR dan 136 anggota DPD,” jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, di ayat 2 dijelaskan bahwa setiap usul perubahan pasal-pasal konstitusi harus diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Sedangkan di ayat 3, dijelaskan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, sekitar 474 dari 711 anggota MPR.
Sementara di ayat 4 dijelaskan, putusan mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR, sekitar 357 dari 711 anggota MPR.
“Sehinggak tidak mungkin ada penumpang gelap di luar PPHN. Seperti untuk merubah periodisasi jabatan kepresidenan menjadi 3 periode,” pungkas Bamsoet.
Turut hadir antara lain Ketua LHKP PP Muhammadiyah Yono Reksoprodjo, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini, Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro, dan Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Jakarta Iwan Satriawan.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Pahala Simanjuntak