Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua DPD, Nono Sampono meminta Pemerintah Indonesia harus mewaspadai ancaman kawasan konflik Laut Cina Selatan.
Menurutnya, di tengah bangsa ini sibuk menghadapi pandemi Covid-19, berharap semua pihak khususnya pemerintah mewaspadai ancaman kawasan yang dipicu konflik laut Cina Selatan, antara Amerika Serikat dan Cina. Dimana kedua negara sudah menempatkan kapal induknya untuk menghadapi kemungkinan perang fisik.
“Mengapa? Karena negara ini memiliki posisi yang sangat strategis. Baik secara ekonomi, politik, dan sumber daya alam yang melimpah (Geo Politik, Geo Ekonomi dan Geo Strategi). Sehingga China dan Amerika Serikat sama-sama memiliki kepentingan yang besar pada Indonesia,” kata Nono dalam diskusi “Pandemi dan Situasi Politik Internasional” bersama Ketua BKSAP DPR Fadli Zon, dan anggota Komisi I DPR, Abdul Kadir Karding di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (9/7/2020).
Persaingan AS dan Cina tersebut berkonsekuensi terjadinya pergeseran perdagang global ke kawasan Pasifik dan barang-barang mengalir sebagian besar lewat Indonesia. Sedangkan barang-barang logistik dari Cina mengalir melalui empat negara; Vietnam, Thailand, Laos, dan Myanmar. Karena itu, Cina akan mati-matian mempertahankan Vietnam dari kekuatan AS.
Untuk itu mantan Purnawirawan TNI AL ini berharap Indonesia harus mulai memperkuat lautnya sebagai poros maritim. Syaratnya adalah pertama, tak ada perang dan konflik di kawasan ASEAN, kelancaran arus logistik dan semua lewat Indonesia, dan ketiga memperkuat maritim. Sehingga akan memperkuat ekonomi berbasis maritim dan militer laut.
Apalagi sejak bulan Mei 2018 saja, sudah terjadi perubahan-perubahan besar keamanan di Asia yang dinamakan Indo Pacifik Region. Dan paling harus diwaspadai bukan saja sebatas keamanan perbatasan. Tapi, efek dari persaingan perdagangan global bakal masuk melalui jalur-jalur laut dan pemanfaatan pelabuhan Indonesia.
Sedangkan Abdul Kadir Karding menegaskan jika target politik Cina pada tahun 2025 nanti posisinya sama dengan AS, dan pada 2030 siap menjadi super power menggantikan AS. Karena itu akan ada tiga macam perang, mengambil data AS dan Eropa, perang tradisional (perang fisik), dan ekonomi.
“Karena Cina sangat agresif, maka AS pun ikut agresif di laut Cina Selatan,” tambah Karding.
Sementara itu Indonesia dalam posisi sangat strategis tersebut hanya memiliki kekayaan alam melimpah, posisi sangat strategis, namun tidak demikian dengan kekuatan militer.
“Untuk itu, demi menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional, kita harus memiliki kekuatan diplomasi yang handal,” tutur Karding.
Sementara itu Fadli Zon mengatakan, permainan kekuatan-kekuatan ada terutama Cina sebagai negara super power pengaruhnya masuk di dalam ASEAN jadi di Asean ini tidak pernah kompak sekarang di dalam urusan Laut Cina Selatan ada negara-negara tertentu yang selalu berbeda sikap dengan mayoritas negara lain dan bersikap abstain terhadap keputusan-keputusan itu.
Namun paling menentang Cina di Laut Cina Selatan adalah Vietnam. Kemudian beberapa yang langsung terkait adalah Malaysia, Brunei, Filipina kadang Pro Cina kadang-kadang Pro Amerika Jadi tergantung mood-nya Duterte.
“Jadi kita melihat bahwa ancaman tradisional dari konflik yang ada di situ disamping ada konflik di semenanjung Korea yang bisa saja terjadi sesuatu yang tidak bisa diduga meskipun upaya-upaya perdamaian dilakukan ini yang saya lihat seharusnya bahwa kita harusnya memang bersiap untuk menghadapi ancaman ancaman tradisional dan non tradisional yang bisa terjadi sewaktu-waktu, Menurut saya yang paling yang paling feminin itu adalah di Laut Cina Selatan,” kata Fadli.
“Karena konflik di Laut Cina Selatan menurutnya bisa sangat terjadi Kapan saja Inevitable. Tidak Bisa dihindarkan karena pihak-pihak yang bertikai menguasai,” tegas anggota Komisi I DPR ini.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Riana