Pemerintah Konyol Wacanakan Tax Amnesty Jilid II

Tax Amnesty Pajak

Jakarta, PONTAS.ID – Mantan Menteri Keuangan, Rizal Ramli mengatakan, wacana pemerintah menggaungkan kembali pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II merupakan hal konyol. Sebab menurutnya, tax amnesty pada 2016 saja gagal membawa uang pajak masuk lebih banyak ke dalam negeri.

“Mau ada ide lagi tax amnesty II. Ini bener-bener konyol. Yang pertama saja gagal total. Harusnya dengan TA pembayar pajak bisa besar tapi kenyataannya merosot,” ujar Rizal di Jakarta, Rabu (14/8/2019).

Dia melanjutkan, tax ratio Indonesia juga tidak menunjukkan pergerakan signifikan dengan adanya tax amnesty. Padahal, pada tahun 2011 tax ratio sempat menyentuh 12 persen namun terus merosot hingga ke angka 11,45 persen.

“Waktu kami jadi Menko, tax ratio kita 12 persen. Sekarang cuma 11 an persen. Ini menunjukkan kegagalan utama dari Menteri Keuangan terbalik bukan terbaik, itu hanya penghargaan dari agregator, asing,” jelasnya.

‘Disetir’ Pengusaha

Sementara itu, Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengaku tidak setuju apabila pemerintah menggelar tax amnesty jilid II. Sejatinya, pengampunan pajak hanya diberikan satu kali. Bukan berkali-kali.

“Tax amnesty yang sering dan jangka waktu pelaksanaannya cukup dekat, hanya akan menunjukkan lemahnya negara dari pengusaha. Ini sinyal buruk bahwa pemerintah bisa diatur (disetir) oleh segelintir kelompok kepentingan,” kata Yustinus.

Perhelatan tax amnesty jilid II, sambung Yustinus, akan mencederai para pengusaha yang sudah bertindak jujur kepada negara dengan melakukan pelaporan pajak pada jilid I.

Justru, ia khawatir hal ini akan memperburuk psikologi para pengemplang pajak untuk semakin menunda pelaporan dan pembayaran pajak kepada negara.

Di sisi lain, ia ragu tax amnesty jilid II merupakan buah pikiran pemerintah. Namun, hanya semata-mata desakan dari para pengusaha kelas kakap yang tak siap menghadapi era keterbukaan dan pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information/AEoI) di bidang perpajakan.

Ia juga tak yakin bila pelaksanaan tax amnesty jilid II akan memberi jaminan kesuksesan yang melampaui jilid pertamanya. Apalagi, bila persiapan dan pelaksanaan tax amnesty dilakukan terburu-buru.

“Aset yang dilaporkan pun rasanya sudah tidak akan besar. Ini juga tidak sepenuhnya akan memastikan tidak ada pelarian kewajiban pajak ke luar negeri,” katanya.

Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah tax amnesty jilid II justru memicu masyarakat semakin lama membayar pajak. Sebab, bukan tidak mungkin akan muncul kecenderungan sengaja menunda pembayaran dan memilih untuk memanfaatkan pengampunan di masa mendatang.

Daripada menjalankan tax amnesty jilid II, Yustinus justru lebih menyarankan pemerintah untuk meneruskan peta jalan (road map) reformasi perpajakan yang sudah dibuat. Dalam peta tersebut, usai memperkuat basis data perpajakan melalui tax amnesty, kini giliran pemerintah menggencarkan pemeriksaan dan penegakan hukum (law enforcement).

Apalagi, kebijakan AEoI sudah resmi diberlakukan. Artinya, pemerintah tinggal mencocokkan kepatuhan pembayaran pajak dari para wajib pajak dengan data aset wajib pajak yang tersebar di sistem keterbukaan informasi dari sejumlah negara di dunia.

“Road map sudah ada, ini berarti tinggal memperkuat IT dan dukungan politik. Setelah Pemilu, seharusnya tidak ada alasan lagi kalau tidak ada dukungan politik,” terang dia.

Di sisi lain, kalaupun ingin memberikan stimulus lain guna meningkatkan kepatuhan sekaligus penerimaan pajak, ia melihat hal yang perlu dilakukan pemerintah hanya menjalankan program cicilan pembayaran pajak.

“Misalnya, boleh cicil selama 12 bulan, tapi dendanya tetap berlaku sesuai ketentuan. Bedanya, berikan saja keringanan cicilan,” ungkapnya.

Namun, bila pemerintah bersikeras mengadakan tax amnesty jilid II, ia menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tarif denda pajak jangan sampai lebih rendah dari tax amnesty jilid pertama.

Kedua, ketentuan hukum bagi yang tidak juga mengikuti tax amnesty jilid kedua benar-benar diperberat. Dua poin ini agar ada efek jera kepada pengemplang pajak.

Ketiga, pemerintah harus bisa menyiapkan instrumen investasi yang benar-benar menarik agar pengusaha kian tergugah untuk memulangkan dananya ke dalam negeri alias repatriasi.

“Iklim investasi juga harus lebih pasti dan negosiasi dengan DPR harus dipercepat, agar tax amnesty jilid kedua bisa dilakukan pada kurun waktu 2020-2021,” jelasnya.

Disusun Secara Matang

Terpisah, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memandang, ide tentang pengampunan pajak atau tax amnesty kedua bisa menjadi terobosan lanjutan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menambah penerimaan negara.

Namun, Misbakhun mengingatkan pemerintah agar menyusun konsep tax amnesty jilid kedua secara matang demi menutup kelemahan pada pengampunan pajak jilid pertama.

“Tax amnesty jilid kedua ini merupakan gagasan yang bisa menjadi terobosan. Kami di DPR, terutama saya pribadi menilai gagasan itu harus memperoleh dukungan politik dan dijelaskan ke publik secara baik,” ujar Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (14/8/2019).

Misbakhun menilai, tax amnesty jilid dua harus didasari pemikiran kuat dan alasan tepat. Ia menegaskan, dasar pemikiran dan alasan tentang perlunya tax amnesty jilid II harus disampaikan secara baik.

“Itulah yang menjadi tantangan besar bagi pemerintah kalau desain dan konsep tax amnesty. Jangan sampai dasar pemikiran dan alasan tax amnesty jilid dua itu tidak terjelaskan dengan baik,” tutur dia.

Misbakhun pun memberikan sejumlah catatan jika pemerintahan Presiden Jokowi hendak mengulang program tax amnesty.

Menurutnya, tax amensty jilid pertama yang cukup berhasil masih memiliki setidaknya dua kelemahan. Pertama, kata Misbakhun, jangka waktu tax amnesty jilid pertama relatif singkat.Sehingga, imbuhnya, ada ketergesa-gesaan di kalangan wajib pajak.

Kelemahan kedua pada tax amnesty jilid pertama adalah sosialisasinya.

“Jangka waktu yang singkat dan sosialisasi yang kurang itu memunculkan keraguan di kalangan pembayar pajak, terutama aspek kepastian hukumnya,” ujarnya.

Andai pemerintah serius hendak menggulirkan tax amnesty jilid II, kata Misbakhun, desain dan konsepnya harus bisa menutupi celah program pengampunan pajak jilid pertama.

Dia meyakini jika kelemahan tax amnesty jilid pertama bisa ditutupi pada jilid kedua, negara akan menerima penerimaan lebih signifikan dari perpajakan.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka peluang untuk kembali menyelenggarakan tax amnesty atau pengampunan pajak.

“Karena di dunia ini enggak ada yang enggak mungkin. Kalau mungkin , ya mungkin (ada tax amnesty lagi). Apakah itu yang terbaik, kita pikirkan sama-sama deh,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Kemarin.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengaku, Presiden Joko Widodo pernah menanyakan hal yang sama terhadap dirinya. Dia pun belum bisa memberi jawaban yang pasti apakah akan ada lagi tax amnesty. Sebab, dikhawatirkan jika ada lagi tax amnesty, para wajib pajak yang masih menunggak pajak tak akan jera.

Para wajib pajak dikhawatirkan tak mau membayar pajak karena berpikiran akan ada pengampunan pajak lagi di kemudian hari.

“Jadi saya dalam posisi menimbang hal itu (tax amnesty),” kata Sri Mulyani.

Menurutnya, pada saat penyelenggaraan tax amnesty pertama, jumlah WP yang membayarkan pajaknya masih di bawah ekspetasi. Padahal, Presiden Jokowi sudah turun tangan langsung untuk mengkampanyekan program tersebut.

“Ternyata cuma 1 juta ( wajib pajak yang ikut tax amnesty). At least itu sangat low dibanding taxpayer kita,” ucap dia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak pada 1 April 2017, total pelaporan harta melalui tax amnesty mencapai Rp 4.855 triliun. Deklarasi harta di dalam negeri masih mendominasi dengan total Rp 3.676 triliun.

Sisanya yaitu deklarasi harta di luar negeri Rp 1.031 triliun dan harta yang dibawa pulang ke Indonesia (repatriasi) Rp 147 triliun.

Sementara, jumlah uang tebusan mencapai Rp 114 triliun, pembayaran tunggakan Rp18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp 1,75 trilun.

Dengan demikian, total uang yang masuk ke kas negara mencapai Rp 135 triliun. Perlu diketahui, pemerintah membuat sejumlah target meliputi dana deklarasi dalam dan luar negeri Rp 4.000 triliun, dana repatriasi Rp 1.000 triliun, dan uang tebusan Rp 165 triliun.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan banyak pengusaha nasional yang menyesel tidak ikut program tax amnesty jilid pertama.

Hal itu juga yang menjadi alasan para pengusaha berharap adanya program tax amnesty jilid II kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.

“Memang kami mendapat masukan dari teman-teman pengusaha besar dan menengah kalau tax amnesty II apakah diadakan kembali,” kata Rosan.

“Karena tax amnesty I banyak yang masih ragu-ragu dan sekarang menyesal tidak ikut karena manfaatnya sangat baik terutama di tengah era keterbukaan ini,” tambahnya.

Menurut Rosan, banyak rekan pengusahanya di tanah air yang belum mengikuti tax amnesty periode Juli 2016 sampai Maret 2017. “Cukup banyak pengusaha yang belum mengikuti tax amnesty I secara penuh,” katanya.

Oleh karena itu, jika pemerintah benar akan melaksanakan kembali program pengampunan pajak jilid II, maka akan dimanfaatkan oleh para pengusaha.

“Karena sekarang para pengusaha sudah yakin dan melihat azas manfaatnya sehingga dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi di TA jilid II,” ujarnya.

Meski demikian, Rosan menyerahkan keputusan tersebut kepada pemerintah. Jika tidak akan diwujudkan pun tidak menjadi soal.

“Ini kan suara dari dunia usaha saja. Mari kita mempelajari secara terbuka dan jangan langsung mengatakan tidak. (Saya) ikut pemerintah saja yang terbaiknya,” tutupnya.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Hendrik JS

Previous articleSoal Penyebab Blackout PLN, Pohon Sengon atau Serangan Siber?
Next articlePembentukan Super Holding BUMN Perlu Merevisi UU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here