Jakarta, PONTAS.ID – Pakar hukum pidana Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian menduga lambatnya pengungkapan kasus penyiraman air keras wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan karena ada keterlibatan intelijen.
Seperti kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir ditemukan keterlibatan intelijen dari Badan Intelijen Negara (BIN) secara tidak langsung setelah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
“Sama seperti Kasus Munir, bedanya Munir mati Novel cacat seumur hidup. Harus ada kebenarian KPK, masyarakat sipil dorong Presiden bentuk TGPF dan tim independen. Kalau KPK tidak punya keberanian, penyidik lain jadi korban,” kata Ahmad Sofian, Jakarta, Rabu, (10/1/18).
Menurutnya, apabila kasus ini sepenuhnya diserahkan kepada polisi, dalam hal ini Polda Metro Jaya, dikhawatirkan masuk angin atau tidak sungguh-sungguh ditanganinya. Sofian juga melihat Presiden Joko Widodo atau Jokowi ada keinginan untuk menuntaskan kasus ini. Namun, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian setengah hati menuntaskan kasus ini.
“Kelompok besar mafia koruptor, kasus tidak mau terusik. Kapolri tidak sanggup hadapi mafia besar itu. Terbelenggu. Sehingga penting TGPF, ada Jaksa, Kepolisian, masyarakat sipil juga didalamnya,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kasus Munir juga mengalami kebuntuan lalu dibentuk TGPF yang didalamnya ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), penegak hukum, masyarakat sipil dan pemerintah. “Akhirnya terbukti ada keterlibatan intelijen dalam kasus Munir,” ungkapnya.
Koordinator End Child Prostitusion, Child Pornography and Trafficking of Child for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia ini menambahkan, kasus Novel Baswedan ini merupakan direncanakan secara matang. Namun sayangnya aktor intelektual atau hackernya tidak akan pernah terungkap secara benar.
“Disertasi saya dalami Kasus Munir. Teori kosalitas itu untuk menemukan sebab-sebab matinya Munir, atau perbuatan yang menjadi sebab kematian Munir. Kasus Novel juga demikian harusnya, sebabnya pasti banyak,” paparnya.
Polda Metro Jaya hingga kini belum menemukan pelaku kasus yang terjadi pada 11 April 2017. Padahal, polisi sudah merilis dua sketsa wajah orang yang diduga terlibat dalam kasus itu pada 24 November 2017, dan merupakan hasil kerjasama Australian Federal Police (AFP) dan Pusat Inafis Mabes Polri. Sketsa tersebut didapat dari hasil rekaman CCTV (kamera pengawas) dan pemeriksaan keterangan 66 saksi.
Perkembangan terakhir pada 11 Desember 2017, sketra wajah tersebut diberikan kepada pihak Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri). Namun identitas pelaku belum terungkap.
Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Idham Azis, angkat bicara beberapa kasus sepanjang 2017 yang mangkrak dituntaskan oleh pihaknya. Kasus yang dimaksud antara ini penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, kasus Makar aksi 212, kasus chat mesum dan kasus-kasus lainnya yang diduga dilakukan oleh Imam besar FPI Habib Rizieq Shihab, dan lainnya.
“Beberapa kasus masih terus kami dalami. Dan kami sudah memberikan batas waktu kepada penyidik,” kata Idham Azis.
Menurutnya, ada beberapa kasus yang tidak bisa penanganannya dan perlu waktu yang cukup lama. “Saya contohkan saat tahun 2000 saya menjadi kompol disini, dan ada bom meledak di Kedubes Filipina. Setelah penyelidikan yang cukup lama baru terungkap tahun 2003,” jelasnya.
Lebih jauh mantan Kepala divisi profesi dan pengamanan Polri ini mengungkapkan, banyaknya kasus mangkrak ini masalahnya pada penyidik. Meski begitu, Idham mengatakan jika pihaknya memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus yang masih mangkrak tersebut. “Komitmen kami jelas untuk bisa tuntaskan kasus-kasus tersebut. Beri kami waktu dan kesempatan, masukan, agar bisa tampilkan yang humanis pelayanan kepada masyarakat,” tegasnya.
Kapolda Metro kemudian memaparkan jumlah kasus yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda Metro yang pada 2017 mengalami kenaikan, dari 628 kasus menjadi 664 kasus. Atau naik sebanyak 36 kasus.
Penyelesaian kasus pada 2017 dibandingkan 2016, mengalami penurunan, dari 343 kasus pada 2016 mejadi 289 kasus pada 2017. Turun sebanyak 54 kasus.
Sementara kasus yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Metro sepanjang 2017, terjadi peningkatan dari 1.623 kasus pada 2016 menjadi 1.674 kasus atau terjadi peningkatan 51 kasus. Sedangkan tingkat penyelesaian kasus pada 2017 mengalami penurunan sebesar 64,09 % kasus dibandingkan tahun 2016 sebanyak 65,31 %.
Hanya Selamatkan Rp. 5,5 milyar
Khusus pada kasus korupsi, mantan Wakil Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri ini mengungkapkan, dari 13 kasus korupsi yang dilaporkan pada 2017 ditambah beberapa kasus di 2016, pihaknya menyelesaikan 36 kasus. “Dari 36 kasus yang diungkap, menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 5,592 milyar,” ungkapnya.
Sedangkan kasus-kasus yang ditangani Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro, tambah dia, jumlah barang bukti selama 2016 diestimasi Rp. 534,3 milyar. Yang berhasil diselamatkan uang negara sebesar Rp. 14,9 juta. “Pengungkapan kasus penyalahgunaan narkoba yang menonjol antara lain pengungkapan jaringan narkotika sindikat Taiwan dengan barang bukti narkotika jenis sabu 1 ton,” paparnya.