Jakarta, PONTAS.ID – Komite III DPD RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dalam rangka inventarisasi materi penyusunan pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) bersama Komnas Perempuan dan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, di DPD RI, Senin 30/01/2023). Salah satu pembahasan dalam RDPU tersebut adalah pengaturan mengenai maternitas dan produktivitas kerja.
“Peran ibu sangatlah penting dalam peningkatan kualitas hidup bagi anak. Kualitas hidup dipandang sebagai determinan dari kesejahteraan. Tingkat pendidikan dan derajat kesehatan dianggap sebagai suatu indikator dalam mengukur kualitas hidup. Peningkatan tingkat pendidikan dan derajat kesehatan dipercaya akan meningkatkan produktivitas individu secara langsung. Kita harapkan RUU ini dapat mengakomodir hal tersebut,” ucap Wakil Ketua Komite III DPD RI Evi Apita Maya.
Dalam RDPU tersebut, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada regulasi khusus yang mendukung perempuan atau ibu untuk memperoleh hak maternitas. Banyak pekerja perempuan yang kesulitan untuk memperoleh hak maternitasnya, seperti cuti melahirkan atau cuti menstruasi, karena khawatir akan memperoleh sanksi atau pengurangan tunjangan.
“Padahal pemenuhan dan pelindungan hak maternitas telah dijamin dalam UUD 1945. Menurutnya, pemenuhan dan perlindungan hak maternitas berkaitan langsung dengan hak pekerjaan, penghidupan yang layak ataupun perlakukan yang adil dalam hubungan kerja,” imbuhnya.
Terkait hak maternitas yang diupayakan dalam RUU KIA, dinilai Andy belum mampu memberikan pelindungan secara kuat, karena sanksi atas pelanggaran tersebut justru diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dirinya juga menilai, RUU KIA kurang mengakomodir hak maternitas bagi pekerja sektor informal.
Menanggapi isu terkait hak maternitas, Anggota DPD RI dari Sulawesi Selatan Lili Amelia Salurapa berharap agar RUU KIA dapat lebih menekankan pada pemenuhan hak maternitas. Dirinya menilai, saat ini banyak perempuan bekerja yang masih mengalami diskriminasi.
“Seperti adanya aturan cuti melahirkan dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Hal tersebut dapat berakibat kurangnya perusahaan-perusahaan untuk mempekerjakan perempuan, karena banyaknya cuti sehingga dianggap mengganggu produktivitas,” ucap Lily yang berasal dari Toraja ini.
Senada dengan itu, Anggota DPD RI dari Maluku Mirati Dewaningsih, berpendapat agar RUU KIA dapat lebih mengedepankan cuti hamil dan melahirkan. Dirinya pun mendorong agar materi RUU tersebut dapat ditinjau lagi agar bermanfaat bagi ibu dan anak di seluruh Indonesia.
Anggota DPD RI dari Sumatera Selatan Arniza Nilawati mengatakan bahwa RUU KIA lebih banyak mengatur pekerja perempuan di sektor formal, tetapi keberpihakan terhadap pekerja perempuan di sektor informal sangat minim. RUU ini harus mampu mendorong Negara untuk menyiapkan anggaran dalam mengakomodir kebutuhan perempuan yang melakukan cuti maternitas.
“Karena banyak kasus ibu rumah tangga bekerja sebagai ART sambil hamil dan masih mencuci pakaian. Di Sumsel, mereka yang bekerja menjadi ART, harus mencuci manual, padahal di rumah itu ada mesin cuci. Dan itu dilakukan pada ibu yang sedang hamil atau punya anak kecil. Itu hal yang miris di negara kita, dan negara kita tidak bisa meng-cover ketika mereka melakukan cuti,” ucapnya.
Penulis: Herdi
Editor: Pahala Simanjuntak