DPD: Indonesia Harus Ambil Jalan Demokrasi Meskipun Sulit

Mardani Ali Sera bersama Nono Sampono dan Margarito Kamis dalam diskusi Dialog Kenegaraan

Jakarta, PONTAS.ID – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Nono Sampono mengatakan sebagai warga bangsa dunia, Indonesia tidak bisa lepas dari semua proses yang terjadi di panggung internasional.

Demikian juga dengan bergulirnya reformasi di Indonesia pada tahun 1998 menurutnya, juga hasil interaksi Indonesia dengan negara-negara di dunia.

“Demikian juga dengan pilihan demokrasi. Kalau Indonesia tidak mengambil langkah demokrasi, arus reformasi justru akan mempersulit posisi Indonesia sebagai satu Negara di dunia,” kata Nono dalam Dialog Kenegaraan bertema “Langkah Demokrasi Republik Indonesia Setelah Usia ke-74?”, di media center Kompleks Parlemen, Rabu (13/8/2019).

Kalau Indonesia tidak mengambil jalan demokratis lanjut Senator asal Provinsi Maluku itu, maka ini akan jadi persoalan besar.

“Korea Utara saya kira tinggal tunggu waktu saja. Di sisi lain, bahkan ada negara yang bersatu seperti Jerman,” ujar Nono.

Lebih lanjut, Nono mengungkap lima hal besar yang harus dijalankan secara konsisten oleh bangsa Indonesia sebagai konsekuensi dari menempuh jalan demokrasi. Kelima hal itu menurutnya adalah sebuah transformasi besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pertama adalah sistem politik kita yang tadinya otoritarian, maaf orde lama dan orde baru, sekarang lebih demokrasi. Kedua, sistem pemerintahan yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi,” ujarnya.

Ketiga lanjut Nono, masalah ekonomi tidak lagi berbasis sumber daya alam karena makin lama masalah kita menabrak lingkungan, ekonomi kreatif jasa dan sumber daya manusia menjadi terdepan.

Keempat, hubungan luar negeri masa lalu Indonesia yang lebih pada “aku”, “saya”, dan “beta”, menjadi tunggal yaitu Indonesia saja dalam konteks kepentingan kawasan yaitu Indonesia dalam Asean, Indonesia dalam konteks Asia, Indonesia dalam konteks Asia Pasifik serta dunia.

Terakhir kata Nono, pendekatan keamanan sudah ditinggalkan karena diganti dengan mengedepankan pendekatan hukum.

“Itulah lima hal besar yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menggunakan parameter tersebut menurut saya, kita melihat kondisi kita saat ini, tentu semakin dinamis dan kalau menurut saya semakin lebih maju,” tegasnya.

Karena itu, Nono mempertanyakan kalau ada kelompok-kelompok, golongan, sekelompok masyarakat yang berkehendak, misalnya, ingin kembali ke UUD 45, itu suatu kemunduran dari demokrasi. “Dunia sudah berbeda sekali, ambil contoh soal anggaran. Sederhana saja komponennya yaitu pendapatan domestik bruto, pajak dan pinjaman,” imbuhnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpandangan, apapun yang dilakukan masyarakat didalam berbangsa dan bernegara, itu yang bertanggung jawab adalah para elite politik.

“Kita tidak bisa bicara apapaun mengenai demokrasi, dan saya suka apa yang dibilang bapak Mardani terakhir. Apapun yang mau kita buat, elite yang bertanggung jawab,” kata Margarito.

Karena, lanjut Margarito, rakyat yang disebut dalam UUD, dan dimana-mana demokrasi rakyat sebagai komponen utama yang memegang kedaulatan. Tapi di dalam kenyataan, rakyat cuma berdaulat dalam kurang lebih tiga sampai lima menit.

Selebihnya detail-detail berbangsa dan bernegara selesai. Sepenuhnya oleh Elite. Tidak kurang dan tidak lebih dan ditemukan itu dimana pun .

“Tetapi saya mau bilang, kalau kita cek kecenderungan dunia dan kecenderungan yang sedang terjadi di Indonesia hari ini adalah upaya kita sedang menciptakan super presidensialisme. Bukan sekedar presidensial,” papar Margarito.

Penulis: Luki Herdian

Editor: Hendrik JS

Previous articlePolres Sergai Ringkus Bandar dan Kurir Sabu dalam Sehari
Next articleLion Air-Garuda Jalin Kesepakatan Bangun Hanggar Perawatan Pesawat di Batam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here